Sabtu, 14 September 2013

A good day to die har

Apakah kau pernah memilih untuk hidup? Aku rasa tidak. Begitulah! Aku dan Kau tidak pernah memilih untuk hidup. Jika dulu sebelum kita terlahir bisa memilih, aku rasa aku tidak akan pernah memilih untuk merasakan (ke)hidup(an) ini. Bagaimana denganmu?

Where did we come from?
Why are we here?
Where do we go when we die?
What lies beyond?
And what lay before?
Is anything certain in life?

They say, “life is too short, the here and the now”
And you’re only given one short
But could there be more?
Have I lived before
Or could this be all that we’ve got?

If I die tomorrow
I’d be alright
Because I believe that after we’re gone
The spirit carries on

I used to be frightened of dying
I used to think death was the end
But that was before, I’m not scared anymore
I know that my soul will transcend
I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove what I know to be true
But I know that I still have to try

Move one, be brave, don’t weep at my grave
Because I am no longer here
But please never let your memory of me disappear

Safe in the light that surrounds me
Free of the fear and the pain
My questioning mind has helped me to find
The meaning in my life again

Victoria’s real, I finally fell
At the peace with the girl in my dreams
And now that I’m here, it’s perfectly clear

I found out what all of this means

Minggu, 25 Agustus 2013

Creep

Selamat malam kirana! Sudah lama aku tidak menyapamu, biasanya aku duduk di teras rumah atau diatas kerikil menjadikan sandal sebagai alas hanya untuk memandangimu. Kini aku tidak bisa lakukan itu aku terlalu jauh menyapamu, suaraku tidak mampu menggetarkan gendang telingamu. Aku sudah putuskan untuk meninggalkan kau disana sendiriaan walau aku tahu sebenarnya kau tidak ingin aku tinggalkan. Mungkin!
Apalah aku tidak bisa berlama-lama menyapamu, melihatmu, menyanyikan senandung lagu yang paling aku sukai atau bercerita tentang semua impianku sampai empun pagi harus memisahkan kita. Aku harus terpisah sesaat darimu, menghilang dari kehidupan yang aku cita-citakan dulu. Aku menyadari kau terlalu mempesona kilauanmu mampu mengalihkan pandanganku membius setiap titik indera dan mengeluarkan lantunan kata-kata Indah yang terucap secara spontan. Walau tidak setiap malam kau hadir dan tidak setiap malam juga aku menemuimu. Aku sudah cukup memandangmu disini ditempat yang berbeda walau ini bukan tempat biasa aku menyapamu, namun kilauan sinarmu tidak akan pernah padam menerangi penjuru semesta menerangi setiap jengkal langkah yang terukir halus di malam hariku.

Aku hanyalah orang aneh yang berharap menjadi orang yang spesial dalam hidupmu. Mengharapkan tubuh yang sempurna berharap menjadi orang yang dapat kau sambut. Tuhan telah ciptakan aku dengan sempurna, tapi aku berharap dapat menjadi orang yang sempurna, sesempurna hatimu, sesuci jiwamu. Ahh aku rasa sudah muak dengan kepalsuan ini. aku berharap satu kau dapat mengerti perasaanku dan aku akan berusaha menjadi bijak terhadap hidupku. Aku hanyalah punguk yang penuh dengan harapan dan imajinasi. Aku tahu ini menyakitkan, aku ingin kau perhatikan saat aku tidak ada, kau sungguh istimewa, harapanku aku juga istemewa.  

Selasa, 06 Agustus 2013

Semboyan Pencerahan

pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidak dewasaan yang dibuatnya sendiri.
ketidak dewasaan adalah ketidak mampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. ketidak dewasaan yang dibuat sendiri ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman, melainkan karena tidak adanya keberanian, yakni ketidak beranian untuk menggunakan pemahaman tanpa arah dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah menggunakan pemahamanmu sendiri! itulah semboyan pencerahan. Imanuel Kant

Sejarah Ilmu Retorika

Retorika adalah seni sekaligus ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa dengan tujuan menghasilkan efek persuasive. Selain logika dan tata bahasa, retorika adalah ilmu wacana yang tertua yang dimulai sejak zaman Yunani kuno. Hingga saat ini, retorika adalah bagian sentral dalam pendidikan di dunia Barat. Kemampuan dan keahlian untuk berbicara di depan audiens publik dan untuk mempersuasi audience untuk melakukan sesuatu melalui seni berbicara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pelatihan seorang intelektual (Johnstone, 1995). Retorika sebagai cabang ilmu berkaitan erat dengan penggunaan symbol-simbol dalam interaksi antar manusia.

Dalam sistematisasi retorika Aristoteles, aspek terpenting dalam teori dan dasar pemikiran retorika adalah tiga jenis pendekatan untuk mempersuasi audiens, yakni logos, pathos dan ethos. Logos adalah strategi untuk meyakinkan audiens dengan menggunakan wacana yang mengedepankan pengetahuan dan rasionalitas (reasoned discourse), sementara pathos adalah pendekatan yang mengutamakan emosi atau menyentuh perasaan audiens dan ethos adalah pendekatan moral menggunakan nilai-nilai yang berkaitan dengan keyakinan audiens.

Di abad ke-20, retorika berkembang menjadi sebuah cabang ilmu pengetahuan dengan berkembangnya pengajaran tentang komunikasi publik dan retorika di sekolah-sekolah menengah dan universitas-universitas pertama di Eropa dan kemudian meluas hingga kawasan-kawasan lain di dunia. Harvard, sebagai universitas pertama di Amerika Serikat, misalnya, telah lama memiliki kurikulum mata kuliah dasar sebagai Retorika sebagai salah satu mata kuliahnya
(Borchers, 2006). Dengan berkembangnya ilmu komunikasi, pembelajaran retorika lebih meluas lagi. Saat ini, retorika dipelajari dalam ruang lingkup yang luas dalam bidang pemasaran, politik, komunikasi, bahkan bahasa (linguistik). Propaganda menjadi fenomena retorika yang sangat menarik. Ketika orang berlomba-lomba mendesain kata-kata untuk mempengaruhi orang lain, itu
membuktikan bahwa seni merangkai pesan sangat berpengaruh dalam berkomunikasi.


Retorika pada Zaman Yunani Kuno

Sejarah menunjukkan bahwa public speaking yang kita kenal dewasa ini berakar dari tradisi politik peradaban Yunani kuno. Asal mula public speaking tidak pernah terlepas dari aspek politik yang menjadi akarnya. Seni berbicara di depan publik disebut sebagai “retorika”. “Retorika” berasal dari Bahasa Yunani. Kata ητορικός (rhētorikos), yang berarti “pidato”, dari kata ήτωρ (rhtōr) "pembicara publik". Retorika juga berkaitan dengan kata ημα (rhêma), "yang dikatakan", dan dari kata kerja ρ (erô), "berkata, berucap” (Liddell & Scott,n.d.).           

a.      Gorgias dan Plato

Retorika berawal dari kultur pemerintahan Yunani kuno yang melibatkan partisipasi politik masyarakat sebagai elemen terpenting dalam pengambilan keputusan. Para politisi sering melakukan pidato-pidato di tempat terbuka untuk didengarkan oleh masyarakat untuk mempersuasi mereka dan sekaligus melebarkan pengaruh para politisi itu sendiri. Para orator-orator Yunani tidak berbicara sebagai perwakilan pihak lain atau konstituen tertentu. Mereka berpidato di publik atas nama diri mereka sendiri. Setiap warga negara yang ingin menonjol dan berhasil dalam karier politik harus mempelajari teknikteknik berbicara di depan publik.
Makna “retorika” kemudian berkembang menjadi seni menyusun dan menyampaikan pidato di depan publik dengan tujuan untuk mempersuasi. Dari sinilah kata “retorika” muncul sebagai alat yang sangat krusial untuk mempengaruhi kondisi perpolitikan dan pemerintahan Yunani. Keterampilan berpidato ini diajarkan oleh kaum sofis. Mereka dikenal sering menerima bayaran untuk mengajarkan bagaimana membuat argumen yang lemah menjadi lebih kuat. Mereka juga memiliki murid-murid yang dilatih dalam teknik berbicara di depan publik.

Sejarah mencatat, Gorgias (485 SM – 380 SM), seorang sofis dan ahli retorika yang hidup sebelum era Socrates sebagai salah satu tokoh retorika yang paling menonjol pada masa itu. Ia lahir di Leontini, Sicilia, dan di kemudian hari menetap di Atena. Gorgias dapat dikatakan sebagai salah public speaker profesional, sekaligus komersil, yang pertama dalam sejarah. Ia sering mengadakan pidato di tempat-tempat umum ternama seperti Olympia dan Delphi. Ia juga
menarik bayaran atas pengajaran yang diberikan lewat pidatopidatonya. Keunggulan penampilan Gorgias adalah, dalam pidatonya, ia selalu menerima pertanyaan-pertanyaan dari audiens secara acak dan ia mampu memberikan jawaban secara impromptu atau tanpa persiapan (Guthrie, 1971). Menurut Gorgias, seorang ahli retorika yang baik dapat berbicara dengan cara yang meyakinkan dalam topic apapun, sekalipun ia tidak berpengalaman di bidang tersebut. Pendapatnya ini menunjukkan bahwa retorika, sebagai sebuah seni dan teknik berkomunikasi, dapat dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan apapun, tidak hanya pidato politik. Gorgias menyatakan kekuatan retorika sebagai alat yang efektif untuk membujuk dengan mengatakan bahwa retorika membuat orang mampu “mempersuasi dengan kata-kata para hakim-hakim di
pengadilan dan senator-senator yang berkepentingan” (Plato dalam...). Dengan demikian jelaslah bahwa ia mengajarkan retorika sebagai teknik menggunakan kata-kata persuasif untuk memperoleh kekuasaan dan menjustifikasi gagasan dan tindakan dengan menggunakan kata-kata.


Di satu sisi, memiliki keahlian berretorika sangat penting dalam kehidupan seorang intelektual publik pada jaman itu. Tetapi di lain sisi seni berretorika sering dicibir bahkan ditakuti karena kemampuan para ahli retorika mempengaruhi orang lewat kata-kata. Tulisan paling berpengaruh ditulis pada Abad ke-4 SM tentang retorika adalah dialog Plato dengan judul yang sama dengan
tokoh yang mewakili tradisi retorika yang dikritiknya,Gorgias. Ketika itu, retorika adalah praktek yang sangat populer di Atena. Dialog Gorgias ditulis Plato untuk merespon kekaguman berbagai pihak pada masa itu terhadap retorika sebagai seni berbicara yang dianggap sangat berguna. Tak pelak, karena kekuatan retorika untuk mempersuasi audiensnya, praktik ini pun dipandang secara negatif. Dalam catatan Plato diceritakan pandangan Socrates yang mengatakan bahwa retorika tidak lebih dari cara orang-orang “pandai” untuk membujuk pendengar-pendengar yang “polos” untuk setuju dengan mereka. Plato sendiri sempat menyebut retorika sebagai perbuatan yang “licik” dan “buruk” (foul and ugly). Plato mengkritik retorika sofistik seperti yang diajarkan oleh Gorgias karena menurutnya kaum sofis menggunakan retorika hanya
untuk menampilkan pidato-pidato persuasif yang mementingkan kepentingan pribadi, bukan didasarkan pada keadilan. Retorika seperti ini berbahaya bila terus menerus dipraktekkan, apalagi diajarkan pada generasi muda, karena dapat membentuk masyarakat yang tidak adil. Tidak dapat dipungkiri bahwa Plato sendiri dalam tulisannya dan dari cara ia mengemukakan argumen, menunjukkan keahlian menggunakan kata-kata secara persuasif. Hal ini notabene identik dengan seni retorika. Seorang orator ulung Romawi, Cicero, membaca Gorgias ketika berkunjung ke Athena dan berpendapat bahwa tulisan Plato, alih-alih mendiskreditkan para ahli retorika, malahan menunjukkan keahlian Plato sendiri dalam berretorika.

Perbedaan Gorgias dan Plato, menurut Herrick (2008) ada pada persepsi keduanya tentang hubungan antara peretorika dengan audiensnya. Para sofis mengatakan apa yang ingin dan senang didengar oleh audiensnya dengan tujuan membujuk mereka untuk percaya pada apa yang diinginkan oleh peretorika. Dengan demikian retorika sofis memanipulasi audiens dan mengabaikan informasi yang benar. Untuk Plato, kebenaran tidak bergantung pada versi peretorika. Kebenaran juga bukan tergantung pada apa yang diterima oleh audiens. Kekuatan seorang peretorika ada pada kebenaran yang abash sementara hasil akhir yang seharusnya dicapai adalah keadilan. Solusi Plato bagi kritik yang ia kemukakan terhadap retorika sofistik terdapat dalam dialognya yang berjudul Phaedrus. Phaedrus memuat gagasan Plato tentang seni persuasi sejati dalam berpidato. Menurutnya, seni persuasi yang benar bertujuan untuk mencapai
tatanan masyarakat yang lebih baik. Seorang peretorika harus mengenal jiwa manusia, mempelajari ragam karakter manusia, dan menyadari kekuatan di balik penggunaan kata-kata. Jiwa manusia dalam konsep Plato mengacu pada tipe kepribadian manusia.

Dalam Phaedrus, Plato mengusulkan bahwa inti dari sebuah seni retorika yang sejati adalah kemampuan untuk menyesuaikan argumen dengan tipe kepribadian manusia yang berbeda-beda. Plato menyatakan bahwa seorang pembicara “harus menemukan jenis pidato yang sesuai dengan
masing-masing tipe kepribadian manusia”. Beberapa ahli mencatat bahwa Plato dan Socrates mengkaitkan antara kekuatan berargumen dengan menggunakan kata-kata (logoi) dengan pengetahuan tentang psikologi manusia. Lalu bagaimana caranya seseorang dapat mengarang sebuah pidato? Socrates menggambarkan sebuah proses yang berbasis pada pengetahuan, yang secara sangat simplistik ia sebutkan sebagai mengatur dan membumbui setiap pidato sehingga pidato yang kompleks dipresentasikan kepada manusia dengan kepribadian yang kompleks sementara pidato yang sederhana dipresentasikan pada manusia dengan kepribadian sederhana.

Ketika seorang pembicara dapat mengenal psikologi pendengarnya dan mengetahui bagaimana
menggunakan kata-kata dan argumen maka, Socrates mengatakan, “akan memungkinkan untuk memproduksi pidato dengan cara yang ilmiah, sejauh yang dapat dicapai, baik untk tujuan pengajaran maupun untuk mempersuasi” (Herrick, 2008, p. 66).



b.      Aristotles

Aristotles dapat dikatakan sebagai kontributor terbesar dalam perkembangan retorika di dunia Barat. Aristotles tiba di Atena pada tahun 367 S.M. tepat satu abad setelah sejarah mencatat masa di mana tradisi retorika dimulai. Pada usia 17 tahun, ia mengikuti Akademi yang didirikan Plato. Hill (dalam Herrick, 2008) menuliskan bahwa ia memulai kariernya sebagai intelektual dengan meneruskan perseteruan akademik dengan kaum Sofis, seperti halnya yang dilakukan oleh
Plato. Tentu saja perseteruan tersebut melibatkan persoalan retorika. Pada awalnya, Aristotles mengambil posisi yang kritis terhadap retorika. Namun pada akhirnya ia mempelajari lebih dalam tentang seni retorika dan akhirnya menulis sebuah karya yang hingga kini
masih sangat berpengaruh dalam tradisi intelektual yaitu Retorika. Dalam tulisannya tersebut, Aristotles menyusun sebuah pelajaran retorika yang sistematis untuk murid-muridnya. Ini juga sekaligus merupakan usahanya untuk melegitimasikan pembelajaran tentang retorika dalam sekolahnya, Lyceum. Bila pendekatan Plato lebih mengarah ke pendekatan moral, Aristotles memilih pendekatan yang lebih pragmatis dan ilmiah. Tujuan Aristotles adalah untuk memperdalam tradisi retorika yang pada saat itu masih berkutat pada cara berpidato seperti di pengadilan dan, menurutnya, kurang canggih. Aristotles meminjam beberapa ide dari para sofis dan dari Plato. Namun, banyak pula argumen-argumen dalam tulisannya yang berseberangan dengan apa yang dikemukakan dalam Gorgias.


Tulisan Aristotles Retorika dibagi menjadi tiga buku. Buku pertama mendefinisikan retorika, menetapkan ruang lingkup retorika, serta membagi retorika menjadi tiga jenis oratori (pidato). Buku kedua membahas tentang strategi-strategi retoris yang terdiri dari karakter dan emosi. Buku ketiga berbicara tentang gaya berbicara dan pengaturan argumen dan kata-kata. Menurut definisi Aristotles, “retorika adalah kemampuan (dunamis: juga dapat berarti kapasitas atau kekuatan) untuk mempraktekkan, pada berbagai kondisi, cara-cara persuasi yang tersedia” (1355b). Dengan mengemukakan definisi ini, Aristotles mengubah posisi retorika dari semata-mata sebuah praktek berpidato atau berorasi menjadi sebuah proses kreatif. Kaum sofis mengajarkan murid-murid mereka untuk menghafalkan pidato-pidato dan berdebat dengan cara berlatih menirukan dan mengulangi. Aristotles berpendapat sebaliknya. Retorika Aristotles adalah sebuah upaya untuk menemukan argumen dan pernyataan yang persuasif sekaligus berkesan. Ia mengajarkan murid-muridnya untuk memiliki kemampuan mencari dan mengembangkan kemampuan rasional mereka untuk dapat menemukan pernyataan apa yang persuasif dalam setting yang berbeda-beda. Ia berkeyakinan bahwa retorika seperti ini dapat diajarkan dan dapat dipelajari secara sistematis.

Bila retorika adalah sebuah ilmu yang dapat diajarkan, maka pertanyaannya adalah, apakah yang diajarkan oleh ilmu retorika dan apakah yang dipelajari oleh seorang murid retorika? Dalam Buku Pertamanya, Aristotles memberikan jawabannya atas pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa ada tiga elemen teknis (iemechnoi pisteis) yang merupakan inti dari ilmu retorika; terdiri dari (1) penalaran logis (logos), (2) penggugah emosi atau perasaan manusia (pathos), dan (3) karakter dan kebaikan manusia (ethos). Selain itu, ia juga menyebutkan beberapa elemen non teknis (atechnoi pisteis) seperti dokumen atau kesaksian. Elemen non-teknis ini dianggapnya berguna dalam berargumen namun bukan bagian dari pembelajaran
retorika.


Logos

Dalam bahasa Yunani, kata “logos” memiliki berbagai makna. Logos dapat berarti sebuah kata atau kata-kata (jamak) dalam sebuah dokumen atau pidato. Logos juga dapat diartikan sebagai makna dari gagasan yang terdapat dalam kata-kata, percakapan, argumen atau kasus. Logos juga dapat berarti akal budi atau rasionalitas. Pada dasarnya, manusia dibedakan dari makhluk lainnya karena memiliki logos. John Randall (....) menulis bahwa logos diartikan sebagai kata
kerja yang bermakna “berperilaku dengan akal budi”. Sebenarnya, pada tahun 4 S.M., para cendekia Yunani tidak membedakan antara berbicara dengan berpikir, keduanya selalu ditautkan dalam konteks yang sama. Kata-kata dimaknai sebagai ekspresi lisan yang diasosiasikan dengan berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk membaca. Kegiatan membaca dalam hati tidak dikenal oleh mereka maupun kaum cendekia Romawi pada zaman itu. Maka dari itu, oleh bangsa Yunani, kata-kata tertulis tidak ada bedanya dengan kata-kata yang terucap. Maka dari itu, kata “logos” seperti yang digunakan Aristotles dalam “Retorika” mengacu pada argument dan logika pidato yang lisan. Logos yang terkait erat dengan proses penalaran dan membuat kesimpulan, sangat erat terkait dengan logika. Namun yang lebih esensial bagi Aristotles bukanlah aspek teknis dari logika. Inti retorika adalah cara orang bernalar dan cara pengambilan keputusan tentang persoalan-persoalan publik yang penting. Logos adalah pembelajaran tentang argumen-argumen yang dikemukakan sebagai hasil dari proses penalaran yang biasa dilakukan orang dalam praktik pengambilan keputusan.


Pathos

Aristotles menganggap pembelajaran tentang emosi manusia atau pathos, sangat penting dalam ilmu retorika yang sistematis. Meski demikian, ia sendiri tidak setuju dengan pembicara-pembicara yang hanya menggunakan manipulasi emosi untuk mempersuasi audiensnya. Aristotles mendefinisikan pathos sebagai “meletakkan audiens dalam kerangka pemikiran yang tepat” (1358a). Konsep Aristotles tentang pathos sebagai aspek emosional dari sebuah pidato ia munculkan karena ia berpendapat bahwa emosi seseorang memiliki pengaruh besar terhadap kemampuannya untuk melakukan penilaian (judgment). Hubungan antara emosi dan penilaian rasional seseorang menjadi tema dasar dari tulisan Aristotles tentang pathos. Menurutnya, seorang pembicara yang memiliki pengetahuan memadai dapat menyentuh perasaan dan keyakinan yang berpengaruh terhadap penilaian audiens dan, dengan demikian, dapat menggerakkan mereka untuk meyakini apa yang disampaikan pembicara. Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya seorang pembicara untuk memiliki penilaian yang benar secara moral, bukan semata-mata keinginan pragmatis untuk memenangkan sebuah argumentasi. Jadi pembelajaran tentang pathos adalah pembelajaran tentang psikologi emosi dan dituntun oleh beban moral untuk menemukan dan menyampaikan kebenaran serta melakukan yang benar.

Pembahasan tentang pathos mencakup emosi-emosi yang dialami oleh manusia pada umumnya, yakni rasa marah, takut, malu, dan belas kasihan. Dengan sistematis, Aristotles mendefinisikan masing-masing emosi tersebut dan menjabarkannya secara terperinci. Herrick (2008) mengamati bahwa paparan mendetil Aristotles tentang pathos sebenarnya tidak hanya difokuskan pada bagaimana cara seorang pembicara membuat jenis-jenis emosi tersebut timbul pada diri audiens, melainkan sebuah eksposisi psikologis terperinci untuk membuat pada murid-muridnya mengerti respon-respon emosional dalam diri manusia. Tujuan akhirnya, adalah agar seorang peretorika
mempelajari kondisi emosional audiens dan berupaya untuk menyelaraskan kondisi emosional itu dengan sifat dan tingkat keseriusan konten pidato yang disampaikan. Peretorika sofis seperti Gorgias memanfaatkan emosi audiens sebagai alat untuk memikat audiens agar terpersuasi, sementara logika konten yang disampaikan diposisikan sebagai aspek sekunder dari
sebuah pidato. Sebaliknya, Artistotles tidak menganggap bahwa emosi berlawanan dengan rasionalitas dan logika. Baginya, emosi sebenarnya adalah respon manusia yang rasional terhadap situasi yang sedang dihadapi atau kata-kata yang sedang didengar.

Aristotles memberi kontribusi yang signifikan adalah mengubah persepsi tentang emosi dalam hubungannya dengan praktik retorik. Aspek emosional tidak harus diceraikan dari wacana yang logis. Retorika Aristotles berpegang pada prinsip bahwa menggugah emosi audiens harus dilakukan dengan cara yang rasional dan relevan dengan konten yang disusun sebagai hasil penalaran yang logis.


Ethos

Dalam Retorika, Aristotles berbicara mengenai karakter dan kredibilitas seorang pembicara. Menurutnya, kedua hal ini harus timbul dari seorang pembicara pada saat ia menyampaikan pidatonya. Reputasi seorang individu di luar praktiknya berretorika tidak relevan dengan kredibilitasnya sebagai seorang peretorika. Aristotles membagi karakter menjadi tiga bagian. Untuk mencapai ethos, seorang pembicara harus memiliki (1) kepandaian, nalar yang baik (phronesis), (2) integritas atau moralitas (arete), dan (3) niat baik (eunoia).

Seorang peretorika yang terlatih harus mengerti karakter bagaimana yang diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang menjadi audiensnya. Bila pathos adalah psikologi mengenai emosi manusia, maka ethos dapat dikatakan sebagai sosiologi mengenai karakter manusia. Selanjutnya, bagi Aristotles, pathos bukan hanya persoalan menunjukkan kredibilitas seseorang di hadapan audiens, tetapi merupakan pembelajaran tentang apa yang diyakini merupakan kualitas seorang individu yang terpercaya di Atena pada jaman itu. Aristotles menganggap ethos sebagai aspek terpenting dari ketiga elemen yang ia ajukan karena ethos memiliki potensi persuasif yang tinggi. Bila audiens yakin bahwa seorang pembicara menguasai apa yang ia bicarakan dan memiliki niat yang baik untuk audiensnya, maka ia akan diterima dan dipercaya oleh audiensnya.

Gaya (style) Berretorika Menurut Aristotles Selain ketiga elemen di atas, Aristotles juga membahas pembawaan, gaya bicara dan penyusunan pidato dalam bukunya. Pembawaan pidato, menurutnya penting karena berkaitan dengan bagaimana audiens menerima apa yang dikatakan oleh pembicara. Ia berpendapat bahwa kemampuan berdramatika adalah bakat seseorang
sehingga pembawaan yang efektif sulit diajarkan. Hal terpenting adalah diksi (pemilihan kata-kata) yang tepat. Gaya berbicara atau gaya berbahasa harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Hal yang terpenting adalah kejelasan. Kejelasan dapat dicapai apabila kata-kata yang digunakan sesuai dengan perkembangan jaman dan dapat dimengerti orang awam. Seorang pembicara harus mampu berbicara menggunakan bahasa tutur yang dikenal dalam pembicaraan sehari-hari. Dalam bahasa Aristotles, “bahasa yang persuasif adalah yang natural”. Paparan di atas menunjukkan bagaimana Aristotles mensistematikakan retorika sebagai sebuah ilmu. Hingga saat ini, Retorika masih diakui sebagai maha karya dalam pembelajaran tentang cara berwacana di depan publik. Aristotles mengajarkan bahwa untuk menjadi seorang peretorika yang handal tidak hanya diperlukan penguasaan terhadap argumen, tetapi juga pemahaman tentang emosi manusia dan faktor-faktor yang membentuk karakter seorang pembicara. Ditambah lagi, seorang peretorika harus menguasai isu-isu terkini, dan mengerti estetika bahasa. Ini menunjukkan bahwa menjadi seorang orator atau peretorika bukanlah pekerjaan mudah. Topik-topik tentang retorika yang dikemukakan oleh para cendekia Yunani memiliki pengaruh besar dalam teori retorika hingga kini. Bahkan apa yang dikemukakan oleh tokoh seperti Plato dan Aristotles telah menjadi dasar bagi pembelajaran tentang metode berbicara maupun menulis dalam pendidikan modern.


Sumber: Grace Prima. Laporan Penelitian PKK Public Speaking.

Jumat, 26 Juli 2013

Sidang Thesis Bergelar Dosen Penuh Manipulasi


Dalam Undang-Undang (UU) no.15 tahun 2005 pasal 14 ayat 2 disebutkan bahwa guru/dosen seorang penyebarluas gagasan, peneliti dan tentunya adalah seorang penulis. Dan saya juga selama ini berpikiran bahwa tenaga pendidik lebih khusus lagi dosen adalah seseorang yang mempunyai ilmu diatas rata-rata dan seseorang yang menjunjung tinggi sportifitas. Setidaknya pemikiran ini ada dalam kepala saya sebelum kejadian hari ini.
Cerita ini berawal ketika kemaren (tanggal 23 Juli 2013) saya dihubungi oleh teman yang berasal dari satu daerah (Sumatera Utara). Bahwa dia meminta bantuan saya untuk membawakan roti yang dibelinya disalah satu toko roti di kota Malang buat besok (baca: hari ini tanggal 24 Juli 2013). Karena saya memang punya waktu luang pada besoknya, maka saya mengiakan untuk membantunya. Teman saya ini sebut saja namanya Kahar adalah salah satu dosen disalah satu Universitas di Sumatera Utara, dan saya sejak kenalan sama Bang Kahar dulu memanggil beliau dengan sebutan abang, sekalipun sesungguhnya umur beliau sudah hampir kepala empat.
Maka tibalah hari ini saya membatu dia untuk membawakan roti yang dimaksudkan. Sebelumnya saya tidak dikasih tahu bahwa roti ini dibawa kekampus dia tempat menimba ilmu (Salah satu Kampus Negeri di Malang) program pascah sarjana. Jadi pembawaan pemakaian saya juga biasa-biasa saja, yaitu memakai celana panjang berbahan kain waal serta memakai baju kaos berkerah dengan alas kaki berupa sandal. Setelah tiba ditoko roti dan kamipun langsung mengambil roti yang telah dipesan sehari sebelumnya. Setelah roti diambil, maka kamipun menuju kampus beliau. Didalam perjalanan bang Kahar baru cerita bahwa roti ini diperuntukkan buat para audiens yang hadir dalam seminar proposal thesisnya, menurut jadwal sidang berlangsung pada pukul 08:00 wib tepat.
Awalnya saya agak ragu untuk memasuki gedung fakultas bang Kahar ini, karena saya hanya memakai sandal. Sebagaimana umumnya peraturan dalam kampus dilarang masuk fakultas orang yang berkaos oblong dan atau orang yang memakai sandal. Dan saya pada saat itu memakai sandal, sementara pulang kekosan untuk memakai sepatu menurut jadwal sidang sudah tidak memungkinkan lagi. Tapi, ternyata ketika memasuki fakultas tempat berlangsungnya sidang thesis bang Kahar itu tidak ada teguran dari pihak keamanan kampus. Begitu juga ketika kami (saya dan Bang Kahar) memasuki lift untuk menuju lantai lima.
Setelah kami sampai dilantai lima, bang Kahar langsung mengeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan saat sidang Proposal thesisnya. Dan saya juga ikut membantu-bantu mempersiapkan, salah satunya yaitu menyalakan proyektor (proyektor dalam ruang sidang ini digantung diatas, namun remotnya tidak ada. Maka jadilah saya naik kemeja tepat dibawah proyektor berada serta menyalakannya dengan manual).
Tak lama kemudian, teman-temannya yang lain mulai berdatangan. hingga jumlahnya mencapai 8 orang. Teman-temannya ini adalah sebagai audiensi yang sengaja diundang bang Kahar ini. Mereka diundang sebagai audiensi dikarena syarat administrasi  sidang thesis di jurusannya salah satunya adalah audiensi harus berjumlah 10 orang. Nah, jika dilihat dari syarat administrasi saja sesungguhnya sudah tidak lolos dan seharusnya sidang proposal thesis tidak boleh dimulai dulu sebelum audiensi mencukupi 10 orang.
Kenyataannya, oleh dosen pembimbing bang Kahar yang bertindak juga sebagai penguji ini mengintruksikan supaya dimulai sidangnya. Karena sebelumnya sudah molor sampai 1 jam lebih. Maka dimulailah sidang proposal thesis bang Kahar yang dimoderatori salah satu audiensi. Jadi jumlanya berkurang lagi.
Sebelum sidang dimulai, bang Kahar ini sudah membuat beberapa soal pertanyaan berkaitan dengan thesisnya dan diberikannya kepada teman-teman audiensi. Dan Bang Kahar ini meminta para audiensi itu mengajukan pertanyaan saat ujian berlangsung, yang mana pertanyaannya adalah yang telah ditulisnya tersebut, serta jawabannya sudah dipersiapkan.
Maka saat ujian berlangsung dimulai, serta tiba saat session pertanyaan. Para audiensi tadi mengacungkan tangan untuk bertanya, yang mana pertanyaan hampir kesemuanya adalah sama persis seperti yang telah diberikan bang Kahar audiensi tadi. Dan sudah bisa ditebak bahwa bang Kahar sangat dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang audiens tanyakan. Karena sudah banyak pertanyaan-pertanyaan yang sudah dilontarkan oleh para audiensi, dan menurut penguji sudah lebih dari cukup. Terbukti dari beberapa pertanyaan itu menurut pembimbing yang sekali gus bertindak sebagai penguji proposal thesis ini sangat berbobot, sehingga sang penguji hanya memberikan masukan-masukan untuk perbaikan dan untuk penggarapan thesisnya.
Dari kejadian ini saya berpikir: pantaslah Negara Indonesiaku ketinggalan dari Negara lain, karena dosen juga masih ada yang belum menjunjung keilmiahan penelitian. Masih memakai cara-cara tidak terpuji dalam pengujian keabsahan keilmiahan penelitiaannya. Terlebih lagi peraturan yang seharusnya dijunjung tinggi bersama, ternyata Profesor penguji dengan tiada rasa bersalah melanggar (syarat tertulis dimulai ujian proposal thesis salah satunya audiensi harus berjumlah minimal 10). Maka saya juga tidak terlalu beharap kepada mahasiswa Bang Kahar ini sebagai agen perubahan.



Mengajarkan filsafat dengan Batman

Pergulatan antara Batman dan Joker jadi materi diskusi filsafat
Selama bertahun-tahun penggemar tokoh komik Batman penasaran dengan misteri di jantung serial ini yakni mengapa Batman tidak langsung membunuh musuh bebuyutannya Joker?
Dua tokoh komik ini terlibat dalam permainan kucing-kucingan yang lama.
Joker melakukan kejahatan, Batman menangkapnya, Joker ditahan dan dengan berbagai cara melarikan diri.
Bukankah akan sangat sederhana jika Batman hanya membunuh Joker? Apa yang menyebabkan dia tidak melakukannya?
Masuk filosof Immanuel Kant dan teori etika deontologi.
Setidaknya, begitulah jalan sebuah diskusi di sejumlah kelas filsafat di Amerika Serikat yang jumlahnya semakin bertambah.
Studi budaya dan media telah membuka jalan bagi universitas untuk memasukkan budaya pop kedalam kurikulum mereka.
Saat ini bukan hal yang aneh menemukan kelas studi televisi bersama dengan kursus literatur abad ke-17.
Sekarang, profesor filsafat menemukan superhero dan buku-buku komik sangat bermanfaat dalam membantu para mahasiswa untuk berfikir mengenai perdebatan moral dan etika yang kompleks yang telah menyibukkan para filsuf selama berabad-abad.

Tradisi Sokrates

William Irwin, profesor filsafat di King's College di Pennsylvania, yang mengedit Blackwell Philosophy and Pop Culture Series memasukkan judul seperti Batman and Philosophy dan X-Men and Philosophy.
Sebagian ahli filsafat mengkritik masuknya tokoh komik
Dia mengatakan, bukanlah yang aneh menggunakan rujukan populer untuk menggambarkan teori-teori yang kompleks.
"Inilah yang filsafat lakukan sejak awal," katanya. "Filsafat mulai dengan Sokrates di jalan-jalan Athena berbicara mengenai pesannya kepada masyarakat dan berbicara dalam bahasa mereka, analog pertanian dan mitologi umum."
Meskipun demikian selama berabad-abad, kalangan filsuf beralih ke dunia akademis, menciptakan perbendaharaan kata yang sulit dimengerti rata-rata mahasiswa tingkat satu. Misalnya, istilah etika deontologi.
Christopher Bartel, asisten dosen filsafat di Universitas Appalachian, meminta mahasiswa untuk membacakan novel bergambar Watchmen dalam upaya mengkaji pertanyaan-pertanyaan soal metafisik dan epistomologi.

Di salah satu kelas, dia menggunakan karakter Dr Manhattan yang mengklaim bahwa segala sesuatu termasuk psikologi manusia ditentukan oleh hukum sebab akibat fisika.
Bartel menggunakannya untuk mengajarkan teori determinisme dan kebebasan berkehendak dan tanggung jawab moral.
Menurut Bartel, kuliahnya di bidang Filsafat, Sastra, Film dan Komik merupakan "alat merekrut yang fantastik".
Dan, katanya, lebih banyak mahasiswa sekarang mengambil spesialisasi di bidang filsafat daripada mahasiswa di bidang lainnya.

Tanggung jawab besar

Jika Anda punya kekuatan adidaya apa tanggung jawab lebih besar
Bagi Christopher Robichaud yang mengajarkan etika dan filsafat politik di Kennedy School of Government, Harvard University dan Tufts University, eksperimen pemikiran berdasarkan superhero dapat membantu orang memahami dilema etika dengan cara yang mudah.
Misalnya bayangkan bahwa Anda Peter Parker alias Spider-Man dan Anda baru saja menemukan diri ini memiliki kekuatan adidaya.
Apakah Anda memiliki kewajiban moral menggunakan kekuatan baru itu untuk membantu orang lain?
Dalam esai yang sudah diterbitkan, Robichaud menggunakan pertanyaan sama untuk mengkaji "consequentialism" sebuah pendekatan kepada moralitas yang mempertimbangkan kebenaran dan kesalahan itu berdasarkan tindakan karena semata-mata hasilnya.
Penganut "consequentialist" akan berpendapat bahwa Peter Parker memiliki tanggung jawab moral menjadi Spider-Man karena keputusannya akan membawa banyak kebaikan.
Namun Peter Parker juga seorang ilmuwan trampil sehingga bagi "non-consequentialist" bisa berpendapat bahwa memenuhi karirnya sebagai ilmuwan sama validnya jika dia memilihnya. Mungkin sebagai Spider-Man sudah di atas segalanya dan melampaui tuntutan kewajiban, jawabannya adalah samar-samar.
Perbincangan tidak berakhir dengan superhero tentu saja. Robichaud mendesak para mahasiswa untuk mengambil kerangka yang telah mereka pelajari dan menerapkannya dalam kehidupan pribadi dan profesional.
Memasukkan superhero kedalam kurikulum filsafat bukan berarti bebas kritik.
Robichaud tidak dapat bersabar terhadap kritik yang mengatakan karyanya mempermurah tradisi studi filsafat.
"Studi filsafat yang saya lakukan yakni filsafat analisis menggunakan pemikiran eksperimen sepanjang waktu. Jika sebagai contoh diambil dari fiksi, dari budaya pop, sepanjang hal itu sejalan dengan filsafat siapa peduli? Siapa peduli jika contohnya dari Middlemarch atau Watchmen?" tanyanya.

Mengapa Kita Perlu Belajar Filsafat


Oleh Reza A.A Wattimena
Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Pernahkah anda bertanya dalam hati, apa tujuan hidup ini? Atau mengajukan pertanyaan, mengapa saya ada? Memang, agama memberikan jawaban. Namun, apakah anda puas dengan jawaban yang diberikan agama?(1)
Jika anda tidak puas dengan jawaban dari agama, ataupun dari tradisi anda, maka belajar filsafat adalah sesuatu yang mesti anda lakukan. Setidaknya dengan mempelajari filsafat, anda bisa menemukan metode yang lebih tepat untuk memahami dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut.
Berpikir
Filsafat, pada hemat saya, bukan sekedar merupakan mata kuliah. Filsafat adalah suatu tindakan, suatu aktivitas. Filsafat adalah aktivitas untuk berpikir secara mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup manusia (apa tujuan hidup, apakah Tuhan ada, bagaimana menata organisasi dan masyarakat, serta bagaimana hidup yang baik), dan mencoba menjawabnya secara rasional, kritis, dan sistematis.
Untuk catatan, filsafat sudah ada lebih dari 2000 tahun, dan belum bisa (tidak akan pernah bisa) memberikan jawaban yang pasti dan mutlak, karena filsafat tidak memberikan jawaban mutlak, melainkan menawarkan alternatif cara berpikir.
Ketika belajar filsafat, anda akan berjumpa dengan pemikiran para filsuf besar sepanjang sejarah manusia. Sebut saja nama-nama pemikir besar itu, seperti Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Thomas Aquinas, dan Jacques Derrida. Pemikiran mereka telah membentuk dunia, sebagaimana kita pahami sekarang ini.
Beberapa mata kuliah yang diajarkan adalah filsafat moral, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat budaya, filsafat politik, filsafat sejarah, logika, eksistensialisme, dan sebagainya. Anda juga akan diajak memikirkan soal keadilan global, teori-teori demokrasi, dan etika biomedis. Untuk para profesional, filsafat juga amat berguna untuk memperluas wawasan berpikir.
Kemampuan-kemampuan Penting
Dengan belajar filsafat, anda akan mendapatkan beberapa ketrampilan berikut; memikirkan suatu masalah secara mendalam dan kritis, membentuk argumen dalam bentuk lisan maupun tulisan secara sistematis dan kritis, mengkomunikasikan ide secara efektif, dan mampu berpikir secara logis dalam menangani masalah-masalah kehidupan yang selalu tak terduga.
            Dengan belajar filsafat, anda akan dilatih menjadi manusia yang utuh, yakni yang mampu berpikir mendalam, rasional, komunikatif. Apapun profesi anda, kemampuan-kemampuan ini amat dibutuhkan. Di sisi lain, dengan belajar filsafat, anda juga akan memiliki pengetahuan yang luas, yang merentang lebih dari 2000 tahun sejarah manusia.
Kemampuan berpikir logis dan abstrak, kemampuan untuk membentuk argumen secara rasional dan kritis, serta kemampuan untuk menyampaikan ide secara efektif, kritis, dan rasional, akan membuat anda mampu berkarya di berbagai bidang, mulai dari bidang informasi-komunikasi, jurnalistik, penerbitan, konsultan, pendidikan, agamawan, ataupun menjadi wirausaha.
Para pengacara, praktisi hukum, praktisi pendidikan, pemuka agama, maupun praktisi bisnis akan mendapatkan wawasan yang amat luas, yang amat berguna untuk mengembangkan diri dan profesi mereka. Jika anda sungguh ingin mendalami filsafat, anda bisa melanjutkan studi sampai pada level master dan doktoral, dan kemudian mengajar di bidang filsafat.
Kemampuan-kemampuan Khusus
Dengan belajar filsafat, anda akan mampu melihat masalah dari berbagai sisi, berpikir kreatif, kritis, dan independen, mampu mengatur waktu dan diri, serta mampu berpikir fleksibel di dalam menata hidup yang terus berubah.
Filsafat mengajak anda untuk memahami dan mempertanyakan ide-ide tentang kehidupan, tentang nilai-nilai hidup, dan tentang pengalaman kita sebagai manusia. Berbagai konsep yang akrab dengan hidup kita, seperti tentang kebenaran, akal budi, dan keberadaan kita sebagai manusia, juga dibahas dengan kritis, rasional, serta mendalam.
Filsafat itu bersifat terbuka. Sekali lagi, filsafat tidak memberikan jawaban mutlak yang berlaku sepanjang masa. Filsafat menggugat, mempertanyakan, dan mengubah dirinya sendiri. Ini semua sesuai dengan semangat pendidikan yang sejati.
Filsafat mengajarkan kita untuk melakukan analisis, dan mengemukakan ide dengan jelas serta rasional. Filsafat mengajarkan kita untuk mengembangkan serta mempertahankan pendapat secara sehat, bukan dengan kekuatan otot, atau kekuatan otoritas politik semata.
Filsafat adalah komponen penting kepemimpinan. Dengan belajar berpikir secara logis, seimbang, kritis, sistematis, dan komunikatif, anda akan menjadi seorang pemimpin ideal, yang amat dibutuhkan oleh berbagai bidang di Indonesia sekarang ini. Jadi tunggu apa lagi? Mari belajar filsafat!

[1] Diolah dan dikembangkan dengan pemikiran saya sendiri dari http://www.guardian.co.uk/education/2008/may/01/universityguide.philosophy?INTCMP=SRCH 20 April 2012. 14.68.

Sumber : http://rumahfilsafat.com/2012/04/20/mengapa-kita-perlu-belajar-filsafat1/

Senin, 22 Juli 2013

Seni Komunikasi

        Dalam gelap ku diam mengawasi keadaan yang penuh tekanan, control sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan agar tidak larut dalam keheningan. Berbagai macam pertanyaan bermunculan satu demi satu begitupun dengan suara bising jalanan bersautan tanpa nada dan intonasi yang jelas. Semua semakin kontras terdengar di tengah gelap himpitan tembok tua tempat bersemayamnya tikus-tikus jalang. Berlari dengan mangsa dalam gigitan dan meraung saat di terjang musuh, dalam keheningan semuanya terjadi secara alamiah, tak peduli berapa lama akan bertahan, secepat itu gambaran hilang dalam pandangan. Ini bukan pertama atau akan menjadi akhir tak satupun mengetahuinya. Jika saja semuanya tercipta mungkin hanya tokohnya yang berbeda baik watak maupun pola pikirnya, atau bisa saja sama, sama-sama menempati ruang dan waktu.
Jalanan mulai sepi aku langkahkan kaki menyusuri kerinduan yang semakin memuncak ini, bukan penggalauan akan kasih sayang tapi ini adalah sebuah pengabdian dan dedikasi atas nama keluarga, tak peduli seberapa dalam lauatan atau seberapa tinggi gunung yang harus ku daki yang pasti kasih sayangnya takan pernah terganti dan akan tetap hidup abadi.
      Aku sama seperti yang lain, terkadang merindukan arti kasih dan sayang. Namun, sekali lagi aku mengerti, paham terhadap apa yang harus aku lakukan. Tak perlu banyak narasi dan setumpuk syair, hanya satu sikap yang akan aku tunjukan untuk mengungkapkan apa arti pengorbanan. Begitupun dengan waktu aku tak peduli berapa banyak waktu yang diperlukan untuk meraih semua impian yang sekarang masih hidup dalam paragraf, aku hanya bisa diam menikmati setiap pengorbanan yang telah dilakukan, tak peduli berapa jauh jarak yang harus ditempuh untuk sampai di “kerajaan” yang pasti aku melakukannya bukan atas keterpaksaan atau keputusasaan karena ketakutan akan kalah dalam perang melawan ketiadaan. Aku tidak perlu mengungkap semuannya, biarkan saja ini menjadi sebuah karya seni dalam komunikasi yaitu diam itu jauh lebih berharga ketimbang mengumbar opini yang tak jelas yang hanya mendatangkan kesenangan subjektif belaka dan mendapatkan kekecewaan dari lingkungan.
                      ‘Untuk menjelakan sebuah pesan kau tidak harus selalu berbicara’    

Jumat, 19 Juli 2013

Angin

Berjalan melangkah pergi, menyambut senja diatas dusta.
Berjalan tanpa tujuan, melingkari deburan ombak kehidupan.
Langit kian gelap, namun yang dituju belum jua tampak.
Ada rasa sesal dalam luka, angin tidak memberikan arah.

Langkahku semakin berat,
Mimpiku tetap terjaga.
Bersama angin malam yang menghantarkanku kepuncak kebahagiaan.
Sesaat napasku terhenti, menerima kenyataan bahwa kau belum juga nampak.

Sesekali ku berbisik pada ilalang "Apakah kau tahu sekarang aku dimana?"

 

Kamis, 18 Juli 2013

Terlepas dari perpektif benar atau salah. fenomena alam tetap menyajikan misteri di dalamnya yang terkadang sulit dipahami nalar manusia. Sehebat apapun otak kita, sekali waktu bisa saja memudar. sekitaranya pernyataan itu dapaat memberikan jalan agar kita tetap waspada dan tidak mudah mengambil suatu tindakan yang hanya didasarkan atas kemampuan berpikir saja, namun kita harus melihat terlebih dahulu sejauh mana fakta-fakta yang kita miliki dapat membuktikan hipotesis yang sebelumnya kita yakini sehingga logika kita tetap berada pada trek dan jalur yang berisi pengetahuan bukan kehendak yang menyeret kita pada kebodohan.

Minggu, 30 Juni 2013

cara mengetahui bahwa seseorang sedang memanipulasi kita



Hidup adalah sebuah pilihan. Ya, sepertinya kita sudah ditakdirkan untuk membuat pilihan demi pilihan dalam  kehidupan kita sendiri, terlepas suka atau tidak. mulai dari tidur sampai terjaga, kita selalu dihapkan pada sebuah pilihan. Ada beberapa hal yang harus kita pelajari dan cermati untuk menentukan pilihan itu baik atau tidak, menguntungkan atau merugikan. Jika kita cermati bahwa sebagian besar pilihan yang kita ambil sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkungan memang mengambil peran yang sangat vital, dalam setiap situasi dan kondisi yang kita hadapi. Secara tidak sadar kita sering mengalami penyesalan di akhir pilihan itu. mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya terletak pada bagaimana cara kita memandang apakah pilihan yang kita ambil itu disarkan atas logika atau atas dasar pemainan emosi yang menyeret kita masuk kedalam sebuah perangkap yang dimanfaatkan oleh para manipulator.
Menurut David J. Lieberman dalam bukunya “agar siapa saja mau melakukan apa saja untu anda” mengemukakan tujuh faktor ampuh yang dimanfaatkan oleh para manipulator adalah rasa bersalah, intimidasi, memancingan ego, rasa takut, rasa ingin tahu, hasrat kita untuk disukai dan dicintai. Mereka yang memanfaatkan faktor-faktor ini akan berusaha mengalihkan kita dari logika ke emosi. Karena mereka mengetahui bahwa mereka tidak bisa mengalihkan fakta, maka mereka berusaha mempermainkan emosi kita dengan menggunakan salah satu atau mengkombinasikan taktik-taktik berikut:

  • Rasa bersalah: “Tega nian kamu mengatakan hal itu? aku  sungguh kecewa karena kamu tidak mempercayaiku. Aku tidak tahu lagi siapa kamu ini sebenarnya.”

  • Intimidasi: “Apa masalahnya, tidak bisakah kamu membuat keputusan? Apakah kamu tidak memiliki cukup kepercayaan diri untuk melakukan hal ini?”

  • Pemancingan ego: ”Aku lihat kamu orang cerdas. Aku hanya tidak ingin membiarkan peluang emas berlalu darimu. Bagaimana mungkin? Bagiku, kamu sudah seperti diri aku sendiri.”

  • Rasa takut: “kamu tahu, kamu bisa kehilangan kesempatan emas ini. aku yakin kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan. Aku sedang mengatakan padamu bahwa kamu tidak akan mendapat kesempatan emas ini lagi. Ini adalah kesempatan terakhir untuk menjadikannya kenyataan; mengapa kamu ingin melewatkan kesempatan emas ini?”

  • Rasa ingin tahu: “ingat kamu hanya hidup sekali. Coba sajalah. Kamu toh selalu bisa kembali poada keadaan semula. Hal itu mungkin menyenangkan, mengasyikan; petualangan sejati! Kamu tidak akan pernah tahu kecuali kamu mencobanya, dan kamu bisa menyesal nantinya.

  • Hasrat kita untuk disukai: “menurutku kamu suka tantangan. Orang lain pun berpikir demikian. Sungguh sangat mengecewakan jika kamu tidak ikut dengan bersama kita. Ayolah, tak seorang pun suka bila ada seseorang yang mundur, ini kesempatan kamu untuk membuktikan seperti apa kamu.”

  • Cinta: “jika kamu mencintaiku, kamu tidak akan pernah menanyakan hal itu padaku. Tentu, aku benar-benar tulus mencintaimu. Aku tidak mungkin berbohong padamu. kamu tahu apa yang ada dalam lubuk hatiku, bukan? Kita akan menjalani hubungan yang menakjukan jika kamu biarkan dirimu larit dan menjalani hal-hal manis yang menanti kita di masa depan.

Perhatikan dan simaklah dengan objektif, bukan hanya kata-kata tetapi juga pesan yang disampaikan. Maneuver-manuver kotor ini bisa mengacaukan kemampuan anda dalam menyelami fakta. Ketika emosi merasuk dalam pikiran, tahan sejenak perasaan anda dan perhatikan si pemberi pesan maupun pesan itu sendiri. Jika anda mendengar pesan-pesan yang mirip dengan manipulator diatas, diamlah dan evaluasi kembali situasi yang ada. Jangan bertindak gegabah dan emosional. Tunggu dan himpun fakta-fakta secara objektif sehingga anda tidak menjadi wajang si tangan tahil.