Retorika adalah
seni sekaligus ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa dengan tujuan menghasilkan
efek persuasive. Selain logika dan tata bahasa, retorika adalah ilmu wacana
yang tertua yang dimulai sejak zaman Yunani kuno. Hingga saat ini, retorika adalah
bagian sentral dalam pendidikan di dunia Barat. Kemampuan dan keahlian untuk
berbicara di depan audiens publik dan untuk mempersuasi audience untuk
melakukan sesuatu melalui seni berbicara adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari pelatihan seorang intelektual (Johnstone, 1995). Retorika sebagai cabang
ilmu berkaitan erat dengan penggunaan symbol-simbol dalam interaksi antar
manusia.
Dalam
sistematisasi retorika Aristoteles, aspek terpenting dalam teori dan dasar
pemikiran retorika adalah tiga jenis pendekatan untuk mempersuasi audiens, yakni
logos, pathos dan ethos. Logos adalah strategi untuk meyakinkan audiens dengan
menggunakan wacana yang mengedepankan pengetahuan dan rasionalitas (reasoned
discourse), sementara pathos adalah pendekatan yang mengutamakan emosi atau
menyentuh perasaan audiens dan ethos adalah pendekatan moral menggunakan
nilai-nilai yang berkaitan dengan keyakinan audiens.
Di abad ke-20,
retorika berkembang menjadi sebuah cabang ilmu pengetahuan dengan berkembangnya
pengajaran tentang komunikasi publik dan retorika di sekolah-sekolah menengah
dan universitas-universitas pertama di Eropa dan kemudian meluas hingga
kawasan-kawasan lain di dunia. Harvard, sebagai universitas pertama di Amerika
Serikat, misalnya, telah lama memiliki kurikulum mata kuliah dasar sebagai
Retorika sebagai salah satu mata kuliahnya
(Borchers,
2006). Dengan berkembangnya ilmu komunikasi, pembelajaran retorika lebih meluas
lagi. Saat ini, retorika dipelajari dalam ruang lingkup yang luas dalam bidang
pemasaran, politik, komunikasi, bahkan bahasa (linguistik). Propaganda menjadi
fenomena retorika yang sangat menarik. Ketika orang berlomba-lomba mendesain
kata-kata untuk mempengaruhi orang lain, itu
membuktikan
bahwa seni merangkai pesan sangat berpengaruh dalam berkomunikasi.
Retorika pada Zaman Yunani Kuno
Sejarah
menunjukkan bahwa public speaking yang kita kenal dewasa ini berakar
dari tradisi politik peradaban Yunani kuno. Asal mula public speaking tidak
pernah terlepas dari aspek politik yang menjadi akarnya. Seni berbicara di depan
publik disebut sebagai “retorika”. “Retorika” berasal dari Bahasa Yunani. Kata
ητορικός (rhētorikos), yang berarti
“pidato”, dari kata ῥήτωρ (rhḗtōr)
"pembicara publik". Retorika juga berkaitan dengan kata ῥημα
(rhêma), "yang dikatakan", dan dari kata kerja ἐρῶ
(erô), "berkata, berucap” (Liddell & Scott,n.d.).
a.
Gorgias dan Plato
Retorika berawal
dari kultur pemerintahan Yunani kuno yang melibatkan partisipasi politik masyarakat
sebagai elemen terpenting dalam pengambilan keputusan. Para politisi sering
melakukan pidato-pidato di tempat terbuka untuk didengarkan oleh masyarakat
untuk mempersuasi mereka dan sekaligus melebarkan pengaruh para politisi itu
sendiri. Para orator-orator Yunani tidak berbicara sebagai perwakilan pihak
lain atau konstituen tertentu. Mereka berpidato di publik atas nama diri mereka
sendiri. Setiap warga negara yang ingin menonjol dan berhasil dalam karier
politik harus mempelajari teknikteknik berbicara di depan publik.
Makna “retorika”
kemudian berkembang menjadi seni menyusun dan menyampaikan pidato di depan
publik dengan tujuan untuk mempersuasi. Dari sinilah kata “retorika” muncul
sebagai alat yang sangat krusial untuk mempengaruhi kondisi perpolitikan dan pemerintahan
Yunani. Keterampilan berpidato ini diajarkan oleh kaum sofis. Mereka dikenal
sering menerima bayaran untuk mengajarkan bagaimana membuat argumen yang lemah
menjadi lebih kuat. Mereka juga memiliki murid-murid yang dilatih dalam teknik
berbicara di depan publik.
Sejarah mencatat,
Gorgias (485 SM – 380 SM), seorang sofis dan ahli retorika yang hidup sebelum
era Socrates sebagai salah satu tokoh retorika yang paling menonjol pada masa
itu. Ia lahir di Leontini, Sicilia, dan di kemudian hari menetap di Atena.
Gorgias dapat dikatakan sebagai salah public speaker profesional,
sekaligus komersil, yang pertama dalam sejarah. Ia sering mengadakan pidato di tempat-tempat
umum ternama seperti Olympia dan Delphi. Ia juga
menarik bayaran
atas pengajaran yang diberikan lewat pidatopidatonya. Keunggulan penampilan
Gorgias adalah, dalam pidatonya, ia selalu menerima pertanyaan-pertanyaan dari
audiens secara acak dan ia mampu memberikan jawaban secara impromptu atau tanpa
persiapan (Guthrie, 1971). Menurut Gorgias, seorang ahli retorika yang
baik dapat berbicara dengan cara yang meyakinkan dalam topic apapun, sekalipun
ia tidak berpengalaman di bidang tersebut. Pendapatnya ini menunjukkan bahwa
retorika, sebagai sebuah seni dan teknik berkomunikasi, dapat dimanfaatkan
untuk mengkomunikasikan apapun, tidak hanya pidato politik. Gorgias menyatakan
kekuatan retorika sebagai alat yang efektif untuk membujuk dengan mengatakan
bahwa retorika membuat orang mampu “mempersuasi dengan kata-kata para
hakim-hakim di
pengadilan dan
senator-senator yang berkepentingan” (Plato dalam...). Dengan demikian jelaslah
bahwa ia mengajarkan retorika sebagai teknik menggunakan kata-kata persuasif
untuk memperoleh kekuasaan dan menjustifikasi gagasan dan tindakan dengan
menggunakan kata-kata.
Di satu sisi,
memiliki keahlian berretorika sangat penting dalam kehidupan seorang
intelektual publik pada jaman itu. Tetapi di lain sisi seni berretorika sering
dicibir bahkan ditakuti karena kemampuan para ahli retorika mempengaruhi orang
lewat kata-kata. Tulisan paling berpengaruh ditulis pada Abad ke-4 SM tentang
retorika adalah dialog Plato dengan judul yang sama dengan
tokoh yang
mewakili tradisi retorika yang dikritiknya,Gorgias. Ketika itu, retorika
adalah praktek yang sangat populer di Atena. Dialog Gorgias ditulis
Plato untuk merespon kekaguman berbagai pihak pada masa itu terhadap retorika
sebagai seni berbicara yang dianggap sangat berguna. Tak pelak, karena kekuatan
retorika untuk mempersuasi audiensnya, praktik ini pun dipandang secara
negatif. Dalam catatan Plato diceritakan pandangan Socrates yang mengatakan
bahwa retorika tidak lebih dari cara orang-orang “pandai” untuk membujuk pendengar-pendengar
yang “polos” untuk setuju dengan mereka. Plato sendiri sempat menyebut retorika
sebagai perbuatan yang “licik” dan “buruk” (foul and ugly). Plato
mengkritik retorika sofistik seperti yang diajarkan oleh Gorgias karena
menurutnya kaum sofis menggunakan retorika hanya
untuk
menampilkan pidato-pidato persuasif yang mementingkan kepentingan pribadi,
bukan didasarkan pada keadilan. Retorika seperti ini berbahaya bila terus
menerus dipraktekkan, apalagi diajarkan pada generasi muda, karena dapat
membentuk masyarakat yang tidak adil. Tidak dapat dipungkiri bahwa Plato sendiri
dalam tulisannya dan dari cara ia mengemukakan argumen, menunjukkan keahlian
menggunakan kata-kata secara persuasif. Hal ini notabene identik dengan seni retorika.
Seorang orator ulung Romawi, Cicero, membaca Gorgias ketika berkunjung
ke Athena dan berpendapat bahwa tulisan Plato, alih-alih mendiskreditkan para
ahli retorika, malahan menunjukkan keahlian Plato sendiri dalam berretorika.
Perbedaan
Gorgias dan Plato, menurut Herrick (2008) ada pada persepsi keduanya tentang
hubungan antara peretorika dengan audiensnya. Para sofis mengatakan apa yang
ingin dan senang didengar oleh audiensnya dengan tujuan membujuk mereka untuk percaya
pada apa yang diinginkan oleh peretorika. Dengan demikian retorika sofis
memanipulasi audiens dan mengabaikan informasi yang benar. Untuk Plato,
kebenaran tidak bergantung pada versi peretorika. Kebenaran juga bukan
tergantung pada apa yang diterima oleh audiens. Kekuatan seorang peretorika ada
pada kebenaran yang abash sementara hasil akhir yang seharusnya dicapai adalah
keadilan. Solusi Plato bagi kritik yang ia kemukakan terhadap retorika sofistik
terdapat dalam dialognya yang berjudul Phaedrus. Phaedrus memuat
gagasan Plato tentang seni persuasi sejati dalam berpidato. Menurutnya, seni
persuasi yang benar bertujuan untuk mencapai
tatanan
masyarakat yang lebih baik. Seorang peretorika harus mengenal jiwa manusia,
mempelajari ragam karakter manusia, dan menyadari kekuatan di balik penggunaan
kata-kata. Jiwa manusia dalam konsep Plato mengacu pada tipe kepribadian
manusia.
Dalam Phaedrus,
Plato mengusulkan bahwa inti dari sebuah seni retorika yang sejati adalah
kemampuan untuk menyesuaikan argumen dengan tipe kepribadian manusia yang
berbeda-beda. Plato menyatakan bahwa seorang pembicara “harus menemukan jenis
pidato yang sesuai dengan
masing-masing
tipe kepribadian manusia”. Beberapa ahli mencatat bahwa Plato dan Socrates
mengkaitkan antara kekuatan berargumen dengan menggunakan kata-kata (logoi)
dengan pengetahuan tentang psikologi manusia. Lalu bagaimana caranya seseorang
dapat mengarang sebuah pidato? Socrates menggambarkan sebuah proses yang
berbasis pada pengetahuan, yang secara sangat simplistik ia sebutkan sebagai mengatur
dan membumbui setiap pidato sehingga pidato yang kompleks dipresentasikan
kepada manusia dengan kepribadian yang kompleks sementara pidato yang sederhana
dipresentasikan pada manusia dengan kepribadian sederhana.
Ketika seorang
pembicara dapat mengenal psikologi pendengarnya dan mengetahui bagaimana
menggunakan
kata-kata dan argumen maka, Socrates mengatakan, “akan memungkinkan untuk
memproduksi pidato dengan cara yang ilmiah, sejauh yang dapat dicapai, baik
untk tujuan pengajaran maupun untuk mempersuasi” (Herrick, 2008, p. 66).
b.
Aristotles
Aristotles dapat
dikatakan sebagai kontributor terbesar dalam perkembangan retorika di dunia
Barat. Aristotles tiba di Atena pada tahun 367 S.M. tepat satu abad setelah
sejarah mencatat masa di mana tradisi retorika dimulai. Pada usia 17 tahun, ia
mengikuti Akademi yang didirikan Plato. Hill (dalam Herrick, 2008) menuliskan
bahwa ia memulai kariernya sebagai intelektual dengan meneruskan perseteruan akademik
dengan kaum Sofis, seperti halnya yang dilakukan oleh
Plato. Tentu
saja perseteruan tersebut melibatkan persoalan retorika. Pada awalnya,
Aristotles mengambil posisi yang kritis terhadap retorika. Namun pada akhirnya
ia mempelajari lebih dalam tentang seni retorika dan akhirnya menulis sebuah
karya yang hingga kini
masih sangat
berpengaruh dalam tradisi intelektual yaitu Retorika. Dalam tulisannya
tersebut, Aristotles menyusun sebuah pelajaran retorika yang sistematis untuk
murid-muridnya. Ini juga sekaligus merupakan usahanya untuk melegitimasikan
pembelajaran tentang retorika dalam sekolahnya, Lyceum. Bila pendekatan Plato
lebih mengarah ke pendekatan moral, Aristotles memilih pendekatan yang lebih
pragmatis dan ilmiah. Tujuan Aristotles adalah untuk memperdalam tradisi
retorika yang pada saat itu masih berkutat pada cara berpidato seperti di
pengadilan dan, menurutnya, kurang canggih. Aristotles meminjam beberapa ide
dari para sofis dan dari Plato. Namun, banyak pula argumen-argumen dalam
tulisannya yang berseberangan dengan apa yang dikemukakan dalam Gorgias.
Tulisan
Aristotles Retorika dibagi menjadi tiga buku. Buku pertama
mendefinisikan retorika, menetapkan ruang lingkup retorika, serta membagi
retorika menjadi tiga jenis oratori (pidato). Buku kedua membahas tentang
strategi-strategi retoris yang terdiri dari karakter dan emosi. Buku ketiga
berbicara tentang gaya berbicara dan pengaturan argumen dan kata-kata. Menurut
definisi Aristotles, “retorika adalah kemampuan (dunamis: juga dapat
berarti kapasitas atau kekuatan) untuk mempraktekkan, pada berbagai kondisi,
cara-cara persuasi yang tersedia” (1355b). Dengan mengemukakan definisi ini,
Aristotles mengubah posisi retorika dari semata-mata sebuah praktek berpidato atau
berorasi menjadi sebuah proses kreatif. Kaum sofis mengajarkan murid-murid
mereka untuk menghafalkan pidato-pidato dan berdebat dengan cara berlatih
menirukan dan mengulangi. Aristotles berpendapat sebaliknya. Retorika
Aristotles adalah sebuah upaya untuk menemukan argumen dan pernyataan yang
persuasif sekaligus berkesan. Ia mengajarkan murid-muridnya untuk memiliki kemampuan
mencari dan mengembangkan kemampuan rasional mereka untuk dapat menemukan
pernyataan apa yang persuasif dalam setting yang berbeda-beda. Ia berkeyakinan
bahwa retorika seperti ini dapat diajarkan dan dapat dipelajari secara sistematis.
Bila retorika
adalah sebuah ilmu yang dapat diajarkan, maka pertanyaannya adalah, apakah yang
diajarkan oleh ilmu retorika dan apakah yang dipelajari oleh seorang murid
retorika? Dalam Buku Pertamanya, Aristotles memberikan jawabannya atas pertanyaan
tersebut dengan menyatakan bahwa ada tiga elemen teknis (iemechnoi pisteis)
yang merupakan inti dari ilmu retorika; terdiri dari (1) penalaran logis (logos),
(2) penggugah emosi atau perasaan manusia (pathos), dan (3) karakter dan
kebaikan manusia (ethos). Selain itu, ia juga menyebutkan beberapa
elemen non teknis (atechnoi pisteis) seperti dokumen atau kesaksian.
Elemen non-teknis ini dianggapnya berguna dalam berargumen namun bukan bagian
dari pembelajaran
retorika.
Logos
Dalam bahasa
Yunani, kata “logos” memiliki berbagai makna. Logos dapat berarti sebuah kata
atau kata-kata (jamak) dalam sebuah dokumen atau pidato. Logos juga dapat
diartikan sebagai makna dari gagasan yang terdapat dalam kata-kata, percakapan,
argumen atau kasus. Logos juga dapat berarti akal budi atau rasionalitas. Pada dasarnya,
manusia dibedakan dari makhluk lainnya karena memiliki logos. John Randall
(....) menulis bahwa logos diartikan sebagai kata
kerja yang
bermakna “berperilaku dengan akal budi”. Sebenarnya, pada tahun 4 S.M., para
cendekia Yunani tidak membedakan antara berbicara dengan berpikir, keduanya
selalu ditautkan dalam konteks yang sama. Kata-kata dimaknai sebagai ekspresi
lisan yang diasosiasikan dengan berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk
membaca. Kegiatan membaca dalam hati tidak dikenal oleh mereka maupun kaum
cendekia Romawi pada zaman itu. Maka dari itu, oleh bangsa Yunani, kata-kata
tertulis tidak ada bedanya dengan kata-kata yang terucap. Maka dari itu, kata
“logos” seperti yang digunakan Aristotles dalam “Retorika” mengacu pada argument
dan logika pidato yang lisan. Logos yang terkait erat dengan proses penalaran
dan membuat kesimpulan, sangat erat terkait dengan logika. Namun yang lebih esensial
bagi Aristotles bukanlah aspek teknis dari logika. Inti retorika adalah cara
orang bernalar dan cara pengambilan keputusan tentang persoalan-persoalan
publik yang penting. Logos adalah pembelajaran tentang argumen-argumen yang
dikemukakan sebagai hasil dari proses penalaran yang biasa dilakukan orang
dalam praktik pengambilan keputusan.
Pathos
Aristotles
menganggap pembelajaran tentang emosi manusia atau pathos, sangat
penting dalam ilmu retorika yang sistematis. Meski demikian, ia sendiri tidak
setuju dengan pembicara-pembicara yang hanya menggunakan manipulasi emosi untuk
mempersuasi audiensnya. Aristotles mendefinisikan pathos sebagai
“meletakkan audiens dalam kerangka pemikiran yang tepat” (1358a). Konsep Aristotles
tentang pathos sebagai aspek emosional dari sebuah pidato ia munculkan karena
ia berpendapat bahwa emosi seseorang memiliki pengaruh besar terhadap
kemampuannya untuk melakukan penilaian (judgment). Hubungan antara emosi
dan penilaian rasional seseorang menjadi tema dasar dari tulisan Aristotles
tentang pathos. Menurutnya, seorang pembicara yang memiliki pengetahuan memadai
dapat menyentuh perasaan dan keyakinan yang berpengaruh terhadap penilaian
audiens dan, dengan demikian, dapat menggerakkan mereka untuk meyakini apa yang
disampaikan pembicara. Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya seorang
pembicara untuk memiliki penilaian yang benar secara moral, bukan semata-mata keinginan
pragmatis untuk memenangkan sebuah argumentasi. Jadi pembelajaran tentang
pathos adalah pembelajaran tentang psikologi emosi dan dituntun oleh beban
moral untuk menemukan dan menyampaikan kebenaran serta melakukan yang benar.
Pembahasan
tentang pathos mencakup emosi-emosi yang dialami oleh manusia pada umumnya,
yakni rasa marah, takut, malu, dan belas kasihan. Dengan sistematis, Aristotles
mendefinisikan masing-masing emosi tersebut dan menjabarkannya secara
terperinci. Herrick (2008) mengamati bahwa paparan mendetil Aristotles tentang pathos
sebenarnya tidak hanya difokuskan pada bagaimana cara seorang pembicara membuat
jenis-jenis emosi tersebut timbul pada diri audiens, melainkan sebuah eksposisi
psikologis terperinci untuk membuat pada murid-muridnya mengerti respon-respon
emosional dalam diri manusia. Tujuan akhirnya, adalah agar seorang peretorika
mempelajari
kondisi emosional audiens dan berupaya untuk menyelaraskan kondisi emosional
itu dengan sifat dan tingkat keseriusan konten pidato yang disampaikan. Peretorika
sofis seperti Gorgias memanfaatkan emosi audiens sebagai alat untuk memikat
audiens agar terpersuasi, sementara logika konten yang disampaikan diposisikan
sebagai aspek sekunder dari
sebuah pidato.
Sebaliknya, Artistotles tidak menganggap bahwa emosi berlawanan dengan rasionalitas
dan logika. Baginya, emosi sebenarnya adalah respon manusia yang rasional
terhadap situasi yang sedang dihadapi atau kata-kata yang sedang didengar.
Aristotles
memberi kontribusi yang signifikan adalah mengubah persepsi tentang emosi dalam
hubungannya dengan praktik retorik. Aspek emosional tidak harus diceraikan dari
wacana yang logis. Retorika Aristotles berpegang pada prinsip bahwa menggugah
emosi audiens harus dilakukan dengan cara yang rasional dan relevan dengan
konten yang disusun sebagai hasil penalaran yang logis.
Ethos
Dalam Retorika,
Aristotles berbicara mengenai karakter dan kredibilitas seorang pembicara.
Menurutnya, kedua hal ini harus timbul dari seorang pembicara pada saat ia
menyampaikan pidatonya. Reputasi seorang individu di luar praktiknya
berretorika tidak relevan dengan kredibilitasnya sebagai seorang peretorika.
Aristotles membagi karakter menjadi tiga bagian. Untuk mencapai ethos, seorang pembicara
harus memiliki (1) kepandaian, nalar yang baik (phronesis), (2)
integritas atau moralitas (arete), dan (3) niat baik (eunoia).
Seorang
peretorika yang terlatih harus mengerti karakter bagaimana yang diterima dan
dipercaya oleh masyarakat yang menjadi audiensnya. Bila pathos adalah psikologi
mengenai emosi manusia, maka ethos dapat dikatakan sebagai sosiologi mengenai
karakter manusia. Selanjutnya, bagi Aristotles, pathos bukan hanya persoalan menunjukkan
kredibilitas seseorang di hadapan audiens, tetapi merupakan pembelajaran
tentang apa yang diyakini merupakan kualitas seorang individu yang terpercaya
di Atena pada jaman itu. Aristotles menganggap ethos sebagai aspek terpenting
dari ketiga elemen yang ia ajukan karena ethos memiliki potensi persuasif yang tinggi.
Bila audiens yakin bahwa seorang pembicara menguasai apa yang ia bicarakan dan
memiliki niat yang baik untuk audiensnya, maka ia akan diterima dan dipercaya
oleh audiensnya.
Gaya (style)
Berretorika Menurut Aristotles Selain ketiga elemen di atas, Aristotles juga
membahas pembawaan, gaya bicara dan penyusunan pidato dalam bukunya. Pembawaan
pidato, menurutnya penting karena berkaitan dengan bagaimana audiens menerima
apa yang dikatakan oleh pembicara. Ia berpendapat bahwa kemampuan berdramatika
adalah bakat seseorang
sehingga
pembawaan yang efektif sulit diajarkan. Hal terpenting adalah diksi (pemilihan
kata-kata) yang tepat. Gaya berbicara atau gaya berbahasa harus disesuaikan
dengan kondisi yang ada. Hal yang terpenting adalah kejelasan. Kejelasan dapat
dicapai apabila kata-kata yang digunakan sesuai dengan perkembangan jaman dan
dapat dimengerti orang awam. Seorang pembicara harus mampu berbicara menggunakan
bahasa tutur yang dikenal dalam pembicaraan sehari-hari. Dalam bahasa
Aristotles, “bahasa yang persuasif adalah yang natural”. Paparan di atas
menunjukkan bagaimana Aristotles mensistematikakan retorika sebagai sebuah
ilmu. Hingga saat ini, Retorika masih diakui sebagai maha karya dalam
pembelajaran tentang cara berwacana di depan publik. Aristotles mengajarkan
bahwa untuk menjadi seorang peretorika yang handal tidak hanya diperlukan penguasaan
terhadap argumen, tetapi juga pemahaman tentang emosi manusia dan faktor-faktor
yang membentuk karakter seorang pembicara. Ditambah lagi, seorang peretorika
harus menguasai isu-isu terkini, dan mengerti estetika bahasa. Ini menunjukkan
bahwa menjadi seorang orator atau peretorika bukanlah pekerjaan mudah. Topik-topik
tentang retorika yang dikemukakan oleh para cendekia Yunani memiliki pengaruh
besar dalam teori retorika hingga kini. Bahkan apa yang dikemukakan oleh tokoh
seperti Plato dan Aristotles telah menjadi dasar bagi pembelajaran tentang
metode berbicara maupun menulis dalam pendidikan modern.
Sumber: Grace
Prima. Laporan Penelitian PKK Public Speaking.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar