Minggu, 30 Juni 2013

cara mengetahui bahwa seseorang sedang memanipulasi kita



Hidup adalah sebuah pilihan. Ya, sepertinya kita sudah ditakdirkan untuk membuat pilihan demi pilihan dalam  kehidupan kita sendiri, terlepas suka atau tidak. mulai dari tidur sampai terjaga, kita selalu dihapkan pada sebuah pilihan. Ada beberapa hal yang harus kita pelajari dan cermati untuk menentukan pilihan itu baik atau tidak, menguntungkan atau merugikan. Jika kita cermati bahwa sebagian besar pilihan yang kita ambil sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkungan memang mengambil peran yang sangat vital, dalam setiap situasi dan kondisi yang kita hadapi. Secara tidak sadar kita sering mengalami penyesalan di akhir pilihan itu. mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya terletak pada bagaimana cara kita memandang apakah pilihan yang kita ambil itu disarkan atas logika atau atas dasar pemainan emosi yang menyeret kita masuk kedalam sebuah perangkap yang dimanfaatkan oleh para manipulator.
Menurut David J. Lieberman dalam bukunya “agar siapa saja mau melakukan apa saja untu anda” mengemukakan tujuh faktor ampuh yang dimanfaatkan oleh para manipulator adalah rasa bersalah, intimidasi, memancingan ego, rasa takut, rasa ingin tahu, hasrat kita untuk disukai dan dicintai. Mereka yang memanfaatkan faktor-faktor ini akan berusaha mengalihkan kita dari logika ke emosi. Karena mereka mengetahui bahwa mereka tidak bisa mengalihkan fakta, maka mereka berusaha mempermainkan emosi kita dengan menggunakan salah satu atau mengkombinasikan taktik-taktik berikut:

  • Rasa bersalah: “Tega nian kamu mengatakan hal itu? aku  sungguh kecewa karena kamu tidak mempercayaiku. Aku tidak tahu lagi siapa kamu ini sebenarnya.”

  • Intimidasi: “Apa masalahnya, tidak bisakah kamu membuat keputusan? Apakah kamu tidak memiliki cukup kepercayaan diri untuk melakukan hal ini?”

  • Pemancingan ego: ”Aku lihat kamu orang cerdas. Aku hanya tidak ingin membiarkan peluang emas berlalu darimu. Bagaimana mungkin? Bagiku, kamu sudah seperti diri aku sendiri.”

  • Rasa takut: “kamu tahu, kamu bisa kehilangan kesempatan emas ini. aku yakin kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan. Aku sedang mengatakan padamu bahwa kamu tidak akan mendapat kesempatan emas ini lagi. Ini adalah kesempatan terakhir untuk menjadikannya kenyataan; mengapa kamu ingin melewatkan kesempatan emas ini?”

  • Rasa ingin tahu: “ingat kamu hanya hidup sekali. Coba sajalah. Kamu toh selalu bisa kembali poada keadaan semula. Hal itu mungkin menyenangkan, mengasyikan; petualangan sejati! Kamu tidak akan pernah tahu kecuali kamu mencobanya, dan kamu bisa menyesal nantinya.

  • Hasrat kita untuk disukai: “menurutku kamu suka tantangan. Orang lain pun berpikir demikian. Sungguh sangat mengecewakan jika kamu tidak ikut dengan bersama kita. Ayolah, tak seorang pun suka bila ada seseorang yang mundur, ini kesempatan kamu untuk membuktikan seperti apa kamu.”

  • Cinta: “jika kamu mencintaiku, kamu tidak akan pernah menanyakan hal itu padaku. Tentu, aku benar-benar tulus mencintaimu. Aku tidak mungkin berbohong padamu. kamu tahu apa yang ada dalam lubuk hatiku, bukan? Kita akan menjalani hubungan yang menakjukan jika kamu biarkan dirimu larit dan menjalani hal-hal manis yang menanti kita di masa depan.

Perhatikan dan simaklah dengan objektif, bukan hanya kata-kata tetapi juga pesan yang disampaikan. Maneuver-manuver kotor ini bisa mengacaukan kemampuan anda dalam menyelami fakta. Ketika emosi merasuk dalam pikiran, tahan sejenak perasaan anda dan perhatikan si pemberi pesan maupun pesan itu sendiri. Jika anda mendengar pesan-pesan yang mirip dengan manipulator diatas, diamlah dan evaluasi kembali situasi yang ada. Jangan bertindak gegabah dan emosional. Tunggu dan himpun fakta-fakta secara objektif sehingga anda tidak menjadi wajang si tangan tahil.

Jumat, 07 Juni 2013

Konsep dan Mental imagery



Pengertian Konsep

Konsep adalah kontruksi atau bangun simbolis yang mempresentasikan beberepa ciri umum, yang biasanya ada pada ciri obyek atau kejadian. Contohnya: konsep bangun segitiga.(Anderson, 1991) Menurut Turner (1974) konsep adalah unsur-unsur abstrak yang menunjukkan fenomena dalam suatu bidang studi tertentu. Schwab (1969: 12-14) menyatakan bahwa konsep merupakan abstraksi, yaitu suatu konstruksi logis yang terbentuk dari kesan, tanggapan, dan pengalaman-pengalaman kompleks.  Hal ini sejalan dengan pendapat Banks (1977:85) bahwa “a concept is an abstract word or phrase that is useful for classifying or categorizing a group of things, ideas, or events”, yang berarti bahwa konsep itu merupakan suatu kata atau frase abstrak yang bermanfaat untuk mengklasifikasikan atau menggolongkan sejumlah hal, gagasan, atau peristiwa.  Dengan demikian, pengertian konsep menunjuk pada suatu abstraksi, penggambaran dari sesuatu yang konkret maupun abstrak (tampak maupun tidak tampak) dapat berbentuk pengertian atau definisi ataupun gambaran mental, atribut esensial dari suatu kategori yang memiliki ciri-ciri esensial relatif sama.
Bagaimana konsep itu bisa terbentuk menurut Kemp (1985) konsep dibentuk dengan menghubungkan berbagai fakta, benda, atau peristiwa yang memiliki kesamaan ciri yang kemudian diberi nama sendiri. Sebagai contoh, nama “buah” ialah konsep yang konkrit karena nama ini ditarik dari hasil observasi terhadap benda (buah-buahan) tertentu seperti jeruk, nanas, rambutan yang mempunyai ciri-ciri yang sama yaitu bundar, harum, segar rasanya, dan keluar dari pohon.

Selanjutnya Kaplan (1964) membedakan tiga kelompok fenomena yang dapat dipelajari antara lain: Pertama ialah fenomena yang mudah di observasi secara langsung (direct observation) seperti warna buah jeruk. Kedua ialah fenomena yang lebih kompleks dan hanya dapat diobservasi secara tidak langsung (indirect observation) seperti “tanda cek” yang terletak disebelah kiri pernyataan “wanita”, dalam lembar jawaban kuisioner, yang menyatakan “jenis kelamin”. Ketiga adalah konstruk yaitu suatu bentuk teoritis yang didasarkan atas hasil observasi yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya, Intelligensi Quotion (IQ) dibentuk secara matematis atas dasar hasil observasi jawaban-jawabann yang diberikan terhadap sejumlah pertanyaan yang terdapat dalam tes-IQ.

Bruner (1966) menyatakan setiap konsep memiliki tiga unsur yaitu: (1) examples, (2) attributes dan (3) attributes value.  Adapun Joyce dan Weil (2000: 125) menyatakan bahwa setiap konsep memiliki 6 aspek, yang meliputi:
  1. Nama yaitu istilah atau etiket yang diberikan kepada satu kategori fakta yang mempunyai ciri-ciri yang sama.
  2. Essential attributes atau criteria attributes, yaitu ciri-ciri yang menempatkan contoh-contoh konsep yang berlainan dalam kategori yang sama.
  3. Non essential attributes, adalah ciri-ciri yang tidak ikut menentukan apakah contoh termasuk ke dalam suatu kategori.
  4. Positive examples
  5. Negative attributes, ini tidak mewakili konsep
  6. Rule, adalah pernyataan yang mencakup semua criteria attributes.

Jika disimpulkan konsep adalah kategorisasi dari suatu objek, peristiwa, orang yang memiliki karakteristik umum. Dengan menggunakan konsep kita mampu mengorganisir suatu fenomena yang kompleks menjadi kategori kognitif yang lebih sederhana. Konsep memungkinkan kita mengklasifikasi objek baru berdasarkan pengalaman masa lalu. Selanjutnya, konsep juga dapat mempengaruhi suatu perilaku.  

Mental Imagery

Menurut Korn & Johnson (1983: 203) mental imagery adalah aktivitas menggambarkan suatu hasil tertentu sebelum hasil tersebut dicapai. Dengan visualisasi seseorang seolah-olah membuat rancangan gambar secara abstrak tentang hasil yang ingin dicapai. Richardson (1969) & Thomas (2003) menjelaskan bahwa mental imagery adalah sebuah proses atau peristiwa ketika individu merasakan dengan nyata terhadap suatu objek, kejadian, atau bahkan suasana tertentu, padahal objek, kejadian, dan suasana tersebut sebenarnya tidak ada secara inderawi pada saat terjadinya proses penggambaran mental berlangsung. Kemudian Shepard (1978: 125-137) mengemukakan mental imagery merupakan kemampuan manusia untuk menggambarkan kesan dalam pikiran sesudah stimuli original pada pandangan keluar. Sedangkan menurut Thomas (2010) mental imagery, secara literal sering dirujukkan sama seperti visualisasi, melihat dengan mata bayangan, mendengar sesuatu di dalam kepala, mengimajinasikan perasaan, dan sebagainya.

Komponen-komponen
Mental Imagery Terdapat tiga komponen terhadap mental imagery menurut Finke (1989:47) komponen-komponen tersebut ialah:
1.Stimulus, merupakan segala sesuatu yang berada di luar individu, seperti kejadian, peristiwa, atau sebuah objek biasa.
2.Panca indera, organ-organ tubuh yang dikhususkan untuk menerima jenis rangsangan tertentu via serabut saraf menuju otak sehingga perasaan atau sensasi yang diterima dapat ditafsirkan.
3.Memory sebagai sebuah proses pengkodean (encoding), penyimpanan (storage), dan pemanggilan kembali informasi (retrieval) atau masa lalu oleh mental manusia.

Encoding adalah pemberian inisial dan registrasi terhadap informasi.
Storage adalah penyimpanan informasi yang telah dikodekan tadi, sedangkan
Retrieve adalah proses dalam penggunaan informasi yang telah tersimpan (stored information).

Proses Terjadinya Mental Imagery
Untuk memahami pengalaman yang terjadi dalam keseharian, individu membentuk representasi mental terkait dengan pengalamannya. Proses terjadinya representasi mental atau mental imagery merupakan sebuah kegiatan yang melibatkan stimuli, panca indera dan memori.

Mata dan telinga yang menerima
informasi dari stimuli dikirimkan ke korteks visual dan korteks auditorik secara berturut-turut (Solso dkk, 2008: 182). Kemudian di kirimkan lagi untuk di proses secara mendalam terhadap informasi yang diterima ke area frontal di otak untuk menemukan apakah suatu kata mendeskripsikan benda hidup atau benda mati. Selanjutnya seiring pemrosesan informasi berlangsung, informasi-informasi sudah berhasil dipahami maknanya kemudian akan masuk atau tersimpan didalam short term memory (STM) sebagai tempat penyimpanan transitorik atau sementara (Solso, 2008: 181). Ketika seseorang merasa informasi yang telah diterimanya tersebut merupakan pengalaman yang menyenangkan ataupun yang bersifat traumatik karena mudah diingat dibandingkan pengalaman yang lain, maka informasi yang tersimpan di dalam STM akan di rehearsed (diulang-ulang) untuk kemudian di simpan kedalam long term memory (LTM). LTM juga berfungsi sebagai kemampuan manusia untuk memahami masa lalu dan menggunakanan informasi tersebut untuk mengolah “masa kini” atau menghubungkan pengalaman dimasa lalu dengan pengalaman sekarang. Teknik mnemonic ialah suatu teknik yang meningkatkan penyimpanan dan pengambilan kembali informasi dalam memori (Solso, 2008: 226). Dari proses inilah manusia dapat membayangkan atau menggambarkan ulang kembali dan menampilkan kembali suatu informasi maupun kejadian di masa lalu dalam ingatan memori serta menghubungkannya dengan kejadian di masa sekarang ataupun masa depan. Hal ini sesuai dengan pengertian dari mental imagery itu sendiri, yaitu suatu representasi mental mengenai objek atau peristiwa yang tidak eksis pada saat terjadinya proses
pembayangan (Solso, 2008: 297).

Sumber :
eJournal Psikologi, Volume 1, Nomor 1, 2013: 23-37
catatan kuliah kognitif

Kamis, 06 Juni 2013

Pengertian dan Proses Kecemburuan



Pengertian kecemburuan (jealousy) secara harfiah berasal dari bahasa Yunani yaitu zelos yang menunjukkan kepada suatu usaha untuk menyamai atau melebihi, menujukkan semangat serta intensitas dari perasaan (Pines, 1998). Knox (dalam Caroll, 2005) mendefinisikan kecemburuan (jealousy) sebagai suatu reaksi emosional  terhadap suatu hubungan yang dirasakan terancam hilang. Salovey (1991) kemudian menambahkan bahwa kecemburuan merupakan suatu pengalaman emosi ketika seseorang merasa terancam hilangnya suatu hubungan yang penting atau bermakna dengan orang lain (pasangannya) terhadap ”rival” atau saingannya.
Psikolog Gordon Clanton (dalam Buss, 2000) memberikan pengertian kecemburuan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang mengekspresikan ketakutan akan kehilangan pasangan atau ketidaknyamanan atas suatu pengalaman nyata ataupun pengalaman imaginasi terhadap pasangannya yang membentuk hubungan dengan pihak atau orang ketiga. Martin Daly dan Margo Wilson (dalam Buss 2000) mendefinisikan kecemburuan sebagai suatu keadaan (state) yang terbangkitkan oleh suatu ancaman yang dirasakan terhadap suatu hubungan, yang kemudian memotivasi munculnya perilaku yang bertujuan untuk membalas kecemburuan tersebut.
Pengertian kecemburuan dari Gordon Clanton di atas, memberikan dua inti dari kecemburuan yaitu ancaman dari hilangnya pasangan dan hadirnya pihak ketiga. Sedangkan pengertian kecemburuan yang dikemukakan oleh Martin Daily dan Margo Wilson, menambahkan ada tiga faset dari kecemburuan. Pertama, kecemburuan merupakan suatu keadaan, yang berarti bersifat sementara atau episodik, bukan merupakan suatu penderitaan yang permanen. Kedua, kecemburuan merupakan suatu respon terhadap suatu ancaman kepada hubungan yang berarti. Ketiga, kecemburuan memotivasi perilaku tertentu dalam mengahdapi ancaman, misalnya memberikan ancaman seksual atau ancaman financial.
Dari definisi diatas, kecemburuan bukanlah suatu konsep yang sederhana dan bukanlah suatu emosi tunggal, tetapi merupakan kombinasi dari emosi- emosi negatif (Bringle & Bunk 1985). Namun tiga hal yang paling tepat dalam mendefiniskan kecemburuan adalah hurt, anger, dan fear. Hurt terjadi karena adanya persepsi bahwa pasangan tidak menghargai komitmen yang telah disepakati bersama dalam menjalin hubungan, sedangkan fear dan anxiety dihasilkan dari kemungkinan yang mengerikan akan ditingalkan dan kehilangan pasangan. (Guerrero & Andersen, 1998 dalam Brehm, 2002).
Tipe-tipe kecemburuan
Miller et al., (2007) menggolongkan kecemburuan menjadi dua tipe. Tipe yang pertama adalah reactive jealousy terjadi ketika seseorang menjadi sadar terhadap tekanan yang actual pada suatu hubungan yang bernilai (Bringle & Buunk, 1991; Parrott, 1991 dalam Miller et al., 2007). Stimulus yang menekan tersebut tidak harus terjadi pada saat ini, bisa saja merupakan antisipasi untuk masa yang akan datang. Tipe yang kedua adalah suspicious jealousy terjadi ketika salah satu dari pasangan tidak berbuat kesalahan dan salah seorang lainnya merasa curiga namun tidak memiliki bukti. Suspicious jealousy menyebabkan rasa khwatir, tidak percaya, waspada dan tingkah laku memata-matai pasangan untuk menguatkan hal-hal yang ia curigai.
Proses kecemburuan
Kecemburuan yang dialami seseorang mengalami tahapan-tahapan, terdapat lima tahapan kecemburuan antara lain:
1.       Tahap awal (primary appraisal) pada tahap ini seseorang merasa adanya ancaman pada hubungan percintaannya, tahap ini menunjukan ambang kecemburuan seseorang. Setiap orang memiliki ambang kecemburuan yang berbeda-beda. Dalam tahap ini pandangan seseorang tentang hubungan percintaan dan ancaman yang ada saling mempengaruhi. Orang yang memandang hubungan secure, membutuhkan ancaman yang sangat kuat untuk membuatnya cemburu. Namun bagi orang yang merasa insecure pada suatu hubungan , kecemburuan bisa saja muncul meskipun ancamannya sangat lemah.
2.       Tahap kedua (secondary appraisal) pada tahap ini individu berusaha untuk memahami situasi dengan lebih baik dan berpikir mengenai cara mengatasi cemburunya. Namun sering kali pada tahap ini seseorang mengambil kesimpulan yang ekstrem dan berdasarkan kemungkinan yang buruk.
3.       Tahap ketiga pada tahap ini melibatkan reaksi emosional dengan tidak menyadari bahwa yang mereka pikirkan adalah hal yang tidak rasioanl. Jenis-jenis emosi yang dirasakan saat seseorang sedang mengalami kecemburuan antara lain marah, terhadap pasangan atau oarang ketiga, cemas akan kehilangan hubungan percintaannya, depresi dan sedih.
4.       Tahap keempat adalah coping. Menurut Bryson (dalam Bhem, 1992) perilaku coping terhadap kecemburuan dibagi kedalam dua orientasi tujuan. Pertama adalah usa3ha untuk mempertahankan hubungan. Usaha itu dapat menghasilkan perilaku baik konstruktif maupun destruktif. Contoh usaha kontruktif adalah membicarakan masalah itu dan bersa3ma-sama mencari jalan keluarnya. Usaha destruktif adalah menghindari konflik seolah-olah tidak ada masalah sama sekali. Kedua usaha untuk mempertahankan self-esteem yaitu bersifat kontruktif dan destruktif. Contoh usaha konstruktif adalah memutuskan hubungan percintaan dengan dengan baik-baik. Contoh usaha destruktif adalah menyerang pasanagan baik secara verbal maupun nonverbal.
5.       Tahap kelima adalah hasil dari prilaku coping yang bersifat konstruktif terhadapa kecemburuan yang akan mengrangi rasa sakit yang ditimbulkan oleh rasa cemburu dan berguna untuk mempernaiki kualitas hubungan.
Daftar pustaka
Aditya, P. & Sarwono, S.W. (2009). Kecemburuan pada Kaum Homoseksual Pria (Gay) di Jakarta. Jurnal Maind Set, 1, 55-62.
www.psychologymania.com

ILMU DALAM PERSPEKTIF MORAL, SOSIAL DAN POLITI

    Kaitan antara ilmu dan moral telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Polanyi, Barber, Ravetz, Brigman, Russel, Jones dan Richter. Ilmuan Indonesia sendiri yang mempelajari permasalahan antara ilmu dan moral antara lain adalah Wilardjo, Daldjoeni, Slamet Iman Santoso dan Suriasumantri.
Ilmu dan moral keduannya termasuk ke dalam genus pengetahuan yang mempunyai karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyanggah tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah ontology, epistimonologi dan aksiologi. Ontology merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan (objek ontologis atau objek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) dari objek ontologis atau formal tersebut. Epistimonologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asa dalam menggunakan pengetahuan tersebut.
Tanggung jawab moral ilmuan: profesional dan moral
Pendekatan secara ontologis, epistimonologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral yang bterkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas moral pada hakikatnya dapat dikelompokan menjadi dua kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab profesioanl dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab profesioanal lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistimonologis. Tanggung jawab profesioanl ini mencakup asa: 1. Kebenaran 2. Kejujuran 3. Tanpa kepentingan langsung 4. Menyandarkan kepada kekuatan argumentasi 5. Rasional 6. Objektif 7. Kritis 8. Terbuka 9. Pragmatis 10. Netral dari nilai-nilai dogmatis dalam menafsirkan hakikat realitas.
Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang menyangkut asa pertama, kebenaran; kedua, kejujuran; ketiga, bebas kepntingan; dan keempat didukung kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapat sanksi yang konkrit dan sanksi moral dari sesame ilmuan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi ilmuan selain menjadi seorang paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan.
Tanggung jawab sosial yakni pertanggungjawaban ilmuan terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis terhadap objek penelaahan keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah terdapat dua tafsiran yang berbeda. Kelompok ilmuan yang pertama menafsirakan bahwa ilmuan harus bersikap netral artinya bahwa terserah kepada masyarakat untuk menentukan objek apa yang akan ditelaah dan untuk apa pengetahuan yang disusun kaum ilmuan itu dipergunakan. Sedangkan kelompok ilmuan kedua berpendapat bahwa ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial yang bersifat formal dalam mendekati kedua permasalahn tersebut.
Sikap kelompok ilmuan keduan didasarkan kepada analisis sejarah mengenai interaksi antara ilmu dan masyarakat. Pengalaman dua perang dunia telah membuktikan bahwa ilmu dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang destruktif: perang dunia I terkenal dengan perang kuman dan Perang Dunia II terkenal dengan bom atom. Mau tidak mau maka ilmuan harus mempunyai sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Demikian juga sejarah perkembangan ilmu telah berada dalam ambang kritis, dimana ilmu bukan saja mempu mengembangkan sarana yang mempermudah kehidupan manusia, namun juga mampu mengubah kodrat manusia.
Kesimpuln
1.       Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekatkan didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yakni segi ontology, epistimonologi dan aksiologi. Untuk menghindari kekacauan pengertian maka ilmuan sebaiknya menghindarikan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum sebab hal ini a, tidak merendahkan martabat manusia dan tidak mememperjelas persoalan dan bahkan menyesatkan. Contoh pernyataan yang terperinci umpamanya adalah: secara ontologis, bila ilmu x maka nilai y.
2.       Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan factor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan. Memperhitungkan factor sejarah ini menyebabkan ilmu tidak mungkin bersikaf netral dalam keseluruhan upaya keilmuannya.
3.       Secara ontologis (metafisik) maka ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatic dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya (das sein)
4.       Secara ontologis dalam pemilihan ujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis/objek formal) maka ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berasakan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
5.       Secara aksiologis ilmu harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia dan kesinambungan/kelestaraian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
6.       Secara epistimonologi maka upaya ilmiah tercermin  dalam metode keilmuan yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berasaskan bertujuan menemukan kebenaran yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argument (an sich)
7.       Asa moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan merupakan sumbangan positif , baikbagi pembentukan manusia perorangan maupun pembentukan karakrter bangsa untuk itu maka aspek moral keilmuan sebaiknya mendapatkan perhatian yang lebih sungguh-sungguh dari para pendidik dan masyarakat keilmuan.

TAPE DAN KANKER: SEBUAH DIALOG TENTANG HAKIKAT ILMU
Dikira tidak ilmiah untuk tertawa? (Katherine Bruner)
Suatu hari kedalam kamr studi seorang professor datang tergopoh-gopoh dua orang mahasiswa. “professor” seru seorang mahasiswa terengah-engah, “saya menemukan obat kanker yang berasal dari tape.”
“saya juga menemukan hal yang sama,” seru kawanya yang tak kalah terengah-engahnya, menyeka kerikat dari jidatnya.
“baik, kawan terpelajar,” jawab professor itu kepada mahasiswa yang satu, “ceritakan kepada saya mengapa kamu berpendapat bahwa tape dapat menyembuhkan kenker. Yakinkan saya dengan mempergunakan semua ilmu yang kamu telah pelajari: kimiah, kimia-fisika, biologi dan sebangsanya.”
“tapi saya tidak mempelajari tentang hal ini, Profesor, saya hanya mencoba bagaimana pengaruhnya kalau orang yang sakit kanker banyak makan tape, dan hasilnya ternyata sembuh,”
Sang professor itu mengangguk-angguk kepalanya dan berpaling kepada mahasiswa yang lainnya: “kalian tahu Anak muda, sembuhnya itu mungkin saja kebetulan. Bagaimana dengan hasil percobaan kamu sendiri, apakah kamu juga berhasil menyembuhkan kanker dengan tape?”
“saya justru tidak melakukan percobaan, prof,” jawab mahasiswa itu, “saya mempelajari kanker dan tape dan semua segi yang professor sebutkan tadi, dan saya menemukan breakthrough: bahwa ditinjau dari kimia, kimia-fisika, biologi, sosiologi dan sebangsanya(maaf prof, tape malah ada aspek kulturnya) tape adalah obat yang ampuh untuk menyembuhkan kanker”
Sang professor itu tersenyum dan berkata “kalian berdua masing-masing mewakili sepotong-sepotong dari cara berpikir keilmuan, tandasnya, ditinjau dari segi epistimonologi ilmu, kalian ini baru setengah ilmuan. Untuk menjadi seorang ilmuan yang penuh, kalian berdua harus bekerja sama…”
Dan professor itu pun bercerita tentang filsafat ilmu. Dimulai dengan paham rasionalisme yang berfikir secara sistematis dan konsisten namun tidak pernah sependapat tentang pernyataan mana yang dapat disetujui bersama dan dengan demikian dapat dianggap benar. Kemudian mengupas paham empirisme yang mengkaitkan berbagai fakta lewat hokum kasualitas, memang factual dan sering dapat diulang-ulang, namun sukar dicari kerangka logisnya yang satu dengan yang lain sering bersifat kontradiktif.
“jangan kalian kira babi-babi sering makan tape dan tidak pernah sakit kanker, lalu kalian simpulkan bahwa tape menyembuhkan atau paling tidak mencegah kanker” desis professor itu memukul mejanya.
“tapi babi tidak pernah makan tape, prof, dia makan ubi kayu” potong setengah ilmuan itu memberanikan diri.
“sudahlah” professor itu melotot “pernyataan itu tidak relevan. Yang penting adalah” kembali dia memukul tinjunya. “agar secara epistimonologis suatu pengetahuan secara sah dapat dianggap ilmiah, dia harus melalui dua tahap. Pertama, yakinkan saya secara teoritis, dengan mempergunakan semua pengetahuan ilmiah (ilmu) yang telah dikumpulkan manusia selama ini, bahwa tape bisa menyembuhkan kanker. Bila saya yakin dengan penjelasan kalian, yang dijabarkan secara deduktif dari semua pengetahuan ilmiah yang telah diakui sampai saat ini, baru kita melnagkah ketahap kedua”
Disini professor kita berhenti dan menarik napas. “kesimpulan dari tahap pertama disebut dugaan atau dalam bahasa ilmiahnya adalah hipotesis. Kesimpulan yang bagaimanapun logisnya, bagaimanapun menyakinkanya dalam tahap ini baru merupakan dugaan. Sebab seperti apa yang dikatakan oleh Hakim Spencer Tracy kepada pembela Maximillian Schell dalam film tentang peradilan penjahat perang Nazi yang berjudul judgment at Nurnberg. Anaku, apa yang logis itu tidak selalu benar. Kalian sering nonton film detektif? (mahasiswa kita menggelengkan kepala sebab yang sering ditonton film ngebut) sering-seringlah nonton film detektif, dalam menentukan kebenaran antara detektif dan ilmuan sebenarnya sama yakni ini (sang professor mengetuk-ngetuk otak kecilnya) dan… (dia bertanya) “Dan Uang… uang penelitian saya maksudkan, prof” kata mahasiswa itu cepat-cepat, melihat profesornya mengerut, “proyek penelitian maksud saya”
“Bukan…” aga berang dia “dalam epistimonologi unag tidak relevan, dalam manajemen penelitian mungkin, (apa yang tidak membutuhkan uang, dia bersungut) yang penting adalah berpikir keilmuan, seperti juga dalam pengadilan adalah bukti. Mana buktinya si Polan membunuh si Badu karena cemburu pada si Dadap? Mana buktinya bahwa tape bisa menyembuhkan kanker karena alsan kimia, biologi, kultural, etsetera, eksetera…”
Dua orang mahasiswa itu rterdiam. Mereka menelan ludah nya. Mungkin haus, sebab hari sudah siang. “itulah tahap kedua dari proses keilmuan yakn I tahap pembuktian. Sekiranya terhadapa bukti yang menyakinkan (jadi jangan disulap atau dibikin-bikin) maka hakim dapat menjatuhkan keputusan yang adil. Demikian juga jika terdapat kesimpulan penelitian yang merupakan bukti yang kuat (bukan penelitian “asal Bapak Senang” atau reportase loran, melainkan penelitian ilmiah dengan desian dan analisis ilmiah) maka hipotesis baru. Untuk itu kalian akan saya calonkan sebagai pemenang Hadiah Nobel tahun depan”
Mahasiswa itu tersenyum. Mereka kelihatan senang. “ingatlah kepada dua tahap dalam proses keilmuan ini, dimana pun juga selama kalian melakukan kegiatan ilmiah. Apakah kalian menulis skripsi sarjana kalian atau tesis pasca-sarjana juga disertasi doctor kalian. Prosesnya tak pernah berubah, yang berbeda hanya lingkup dan kedalamanya…”
Ketika kedua mahasiswa telah pergi dari kamar studinya. Dengan lesu professor itu membalik-balik karya ilmiah rekan se-civitas-academica. Tumpukan yang satu penuh angka dan table-tabel logika. Tumpukan lain penuh dengan teori-teori tanpa fakta. “Baru setengah….” Desisnya.
(sungguh mati saya tak tahu setengah apa, sebab professor itu memalingkan kepalanya ke tembok dan tak kedengaran lagi suaranya. Yang pasti jam ditembok itu menunjukan pukul12.30 WIB)
Sumber:
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam perspektif moral, sosial dan polik. PT Gramedia. Jakarta, 1986. Halaman 24-27.