Pergulatan antara Batman dan Joker
jadi materi diskusi filsafat
Selama bertahun-tahun penggemar
tokoh komik Batman penasaran dengan misteri di jantung serial ini yakni mengapa
Batman tidak langsung membunuh musuh bebuyutannya Joker?
Dua tokoh komik ini terlibat dalam
permainan kucing-kucingan yang lama.
Joker melakukan kejahatan, Batman
menangkapnya, Joker ditahan dan dengan berbagai cara melarikan diri.
Bukankah akan sangat sederhana jika
Batman hanya membunuh Joker? Apa yang menyebabkan dia tidak melakukannya?
Masuk filosof Immanuel Kant dan
teori etika deontologi.
Setidaknya, begitulah jalan sebuah
diskusi di sejumlah kelas filsafat di Amerika Serikat yang jumlahnya semakin
bertambah.
Studi budaya dan media telah membuka
jalan bagi universitas untuk memasukkan budaya pop kedalam kurikulum mereka.
Saat ini bukan hal yang aneh
menemukan kelas studi televisi bersama dengan kursus literatur abad ke-17.
Sekarang, profesor filsafat
menemukan superhero dan buku-buku komik sangat bermanfaat dalam membantu para
mahasiswa untuk berfikir mengenai perdebatan moral dan etika yang kompleks yang
telah menyibukkan para filsuf selama berabad-abad.
Tradisi
Sokrates
William Irwin, profesor filsafat di
King's College di Pennsylvania, yang mengedit Blackwell Philosophy and Pop
Culture Series memasukkan judul seperti Batman and Philosophy dan X-Men and
Philosophy.
Sebagian ahli filsafat mengkritik
masuknya tokoh komik
Dia mengatakan, bukanlah yang aneh
menggunakan rujukan populer untuk menggambarkan teori-teori yang kompleks.
"Inilah yang filsafat lakukan
sejak awal," katanya. "Filsafat mulai dengan Sokrates di jalan-jalan
Athena berbicara mengenai pesannya kepada masyarakat dan berbicara dalam bahasa
mereka, analog pertanian dan mitologi umum."
Meskipun demikian selama
berabad-abad, kalangan filsuf beralih ke dunia akademis, menciptakan
perbendaharaan kata yang sulit dimengerti rata-rata mahasiswa tingkat satu.
Misalnya, istilah etika deontologi.
Christopher Bartel, asisten dosen
filsafat di Universitas Appalachian, meminta mahasiswa untuk membacakan novel
bergambar Watchmen dalam upaya mengkaji pertanyaan-pertanyaan soal metafisik
dan epistomologi.
Di salah satu kelas, dia menggunakan karakter Dr Manhattan yang mengklaim bahwa segala sesuatu termasuk psikologi manusia ditentukan oleh hukum sebab akibat fisika.
Di salah satu kelas, dia menggunakan karakter Dr Manhattan yang mengklaim bahwa segala sesuatu termasuk psikologi manusia ditentukan oleh hukum sebab akibat fisika.
Bartel menggunakannya untuk
mengajarkan teori determinisme dan kebebasan berkehendak dan tanggung jawab
moral.
Menurut Bartel, kuliahnya di bidang
Filsafat, Sastra, Film dan Komik merupakan "alat merekrut yang
fantastik".
Dan, katanya, lebih banyak mahasiswa
sekarang mengambil spesialisasi di bidang filsafat daripada mahasiswa di bidang
lainnya.
Tanggung
jawab besar
Jika Anda punya kekuatan adidaya apa
tanggung jawab lebih besar
Bagi Christopher Robichaud yang
mengajarkan etika dan filsafat politik di Kennedy School of Government, Harvard
University dan Tufts University, eksperimen pemikiran berdasarkan superhero
dapat membantu orang memahami dilema etika dengan cara yang mudah.
Misalnya bayangkan bahwa Anda Peter
Parker alias Spider-Man dan Anda baru saja menemukan diri ini memiliki kekuatan
adidaya.
Apakah Anda memiliki kewajiban moral
menggunakan kekuatan baru itu untuk membantu orang lain?
Dalam esai yang sudah diterbitkan,
Robichaud menggunakan pertanyaan sama untuk mengkaji "consequentialism"
sebuah pendekatan kepada moralitas yang mempertimbangkan kebenaran dan
kesalahan itu berdasarkan tindakan karena semata-mata hasilnya.
Penganut "consequentialist"
akan berpendapat bahwa Peter Parker memiliki tanggung jawab moral menjadi
Spider-Man karena keputusannya akan membawa banyak kebaikan.
Namun Peter Parker juga seorang
ilmuwan trampil sehingga bagi "non-consequentialist" bisa
berpendapat bahwa memenuhi karirnya sebagai ilmuwan sama validnya jika dia
memilihnya. Mungkin sebagai Spider-Man sudah di atas segalanya dan melampaui
tuntutan kewajiban, jawabannya adalah samar-samar.
Perbincangan tidak berakhir dengan
superhero tentu saja. Robichaud mendesak para mahasiswa untuk mengambil
kerangka yang telah mereka pelajari dan menerapkannya dalam kehidupan pribadi
dan profesional.
Memasukkan superhero kedalam
kurikulum filsafat bukan berarti bebas kritik.
Robichaud tidak dapat bersabar
terhadap kritik yang mengatakan karyanya mempermurah tradisi studi filsafat.
"Studi filsafat yang saya
lakukan yakni filsafat analisis menggunakan pemikiran eksperimen sepanjang
waktu. Jika sebagai contoh diambil dari fiksi, dari budaya pop, sepanjang hal
itu sejalan dengan filsafat siapa peduli? Siapa peduli jika contohnya dari
Middlemarch atau Watchmen?" tanyanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar