Kaitan antara ilmu dan moral telah lama menjadi bahan
pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Polanyi, Barber, Ravetz,
Brigman, Russel, Jones dan Richter. Ilmuan Indonesia sendiri yang mempelajari
permasalahan antara ilmu dan moral antara lain adalah Wilardjo, Daldjoeni,
Slamet Iman Santoso dan Suriasumantri.
Ilmu dan moral keduannya termasuk ke dalam genus pengetahuan
yang mempunyai karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai
tiga komponen yang merupakan tiang penyanggah tubuh pengetahuan yang
disusunnya. Komponen tersebut adalah ontology, epistimonologi dan aksiologi.
Ontology merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang menjadi
objek penelaahan (objek ontologis atau objek formal dari pengetahuan) serta penafsiran
tentang hakikat realitas (metafisika) dari objek ontologis atau formal
tersebut. Epistimonologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi
pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi tubuh pengetahuan. Aksiologi
merupakan asa dalam menggunakan pengetahuan tersebut.
Tanggung jawab moral ilmuan: profesional dan moral
Pendekatan secara ontologis, epistimonologis dan aksiologis
memberikan 18 asas moral yang bterkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan
asas moral pada hakikatnya dapat dikelompokan menjadi dua kelompok asas moral
yang membentuk tanggung jawab profesioanl dan kelompok yang membentuk tanggung
jawab sosial.
Tanggung jawab profesioanal lebih ditujukan kepada
masyarakat ilmuan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan
landasan epistimonologis. Tanggung jawab profesioanl ini mencakup asa: 1.
Kebenaran 2. Kejujuran 3. Tanpa kepentingan langsung 4. Menyandarkan kepada
kekuatan argumentasi 5. Rasional 6. Objektif 7. Kritis 8. Terbuka 9. Pragmatis
10. Netral dari nilai-nilai dogmatis dalam menafsirkan hakikat realitas.
Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan
yang maju secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang
menyangkut asa pertama, kebenaran; kedua, kejujuran; ketiga, bebas kepntingan;
dan keempat didukung kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan
ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapat sanksi yang konkrit dan sanksi
moral dari sesame ilmuan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan sanksi
legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi ilmuan selain menjadi seorang
paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan.
Tanggung jawab sosial yakni pertanggungjawaban ilmuan
terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis terhadap
objek penelaahan keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah terdapat dua
tafsiran yang berbeda. Kelompok ilmuan yang pertama menafsirakan bahwa ilmuan
harus bersikap netral artinya bahwa terserah kepada masyarakat untuk menentukan
objek apa yang akan ditelaah dan untuk apa pengetahuan yang disusun kaum ilmuan
itu dipergunakan. Sedangkan kelompok ilmuan kedua berpendapat bahwa ilmuan
mempunyai tanggung jawab sosial yang bersifat formal dalam mendekati kedua
permasalahn tersebut.
Sikap kelompok ilmuan keduan didasarkan kepada analisis
sejarah mengenai interaksi antara ilmu dan masyarakat. Pengalaman dua perang
dunia telah membuktikan bahwa ilmu dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang
destruktif: perang dunia I terkenal dengan perang kuman dan Perang Dunia II
terkenal dengan bom atom. Mau tidak mau maka ilmuan harus mempunyai sikap
formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Demikian juga sejarah
perkembangan ilmu telah berada dalam ambang kritis, dimana ilmu bukan saja
mempu mengembangkan sarana yang mempermudah kehidupan manusia, namun juga mampu
mengubah kodrat manusia.
Kesimpuln
1.
Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai
kaitan antara ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekatkan
didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yakni segi ontology,
epistimonologi dan aksiologi. Untuk menghindari kekacauan pengertian maka
ilmuan sebaiknya menghindarikan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum sebab
hal ini a, tidak merendahkan martabat manusia dan tidak mememperjelas persoalan
dan bahkan menyesatkan. Contoh pernyataan yang terperinci umpamanya adalah:
secara ontologis, bila ilmu x maka nilai y.
2.
Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya
memperhitungkan factor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri,
maupun penggunaan ilmu dalam lingkup ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu
dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan. Memperhitungkan factor sejarah
ini menyebabkan ilmu tidak mungkin bersikaf netral dalam keseluruhan upaya
keilmuannya.
3.
Secara ontologis (metafisik) maka ilmu bersifat
netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatic dalam menafsirkan hakikat
realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana
adanya (das sein)
4.
Secara ontologis dalam pemilihan ujud yang akan
dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis/objek formal) maka ilmu
dibimbing oleh kaidah moral yang berasakan tidak mengubah kodrat manusia, tidak
merendahkan martabat manusia dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
5.
Secara aksiologis ilmu harus dipergunakan dan
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf
hidupnya dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia dan
kesinambungan/kelestaraian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan
dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
6.
Secara epistimonologi maka upaya ilmiah
tercermin dalam metode keilmuan yang
berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berasaskan
bertujuan menemukan kebenaran yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa
kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argument (an sich)
7.
Asa moral yang terkandung dalam kegiatan
keilmuan merupakan sumbangan positif , baikbagi pembentukan manusia perorangan
maupun pembentukan karakrter bangsa untuk itu maka aspek moral keilmuan
sebaiknya mendapatkan perhatian yang lebih sungguh-sungguh dari para pendidik
dan masyarakat keilmuan.
TAPE DAN KANKER: SEBUAH DIALOG TENTANG HAKIKAT ILMU
Dikira tidak ilmiah untuk tertawa? (Katherine Bruner)
Suatu hari kedalam kamr studi seorang professor datang
tergopoh-gopoh dua orang mahasiswa. “professor” seru seorang mahasiswa
terengah-engah, “saya menemukan obat kanker yang berasal dari tape.”
“saya juga menemukan hal yang sama,” seru kawanya yang tak
kalah terengah-engahnya, menyeka kerikat dari jidatnya.
“baik, kawan terpelajar,” jawab professor itu kepada
mahasiswa yang satu, “ceritakan kepada saya mengapa kamu berpendapat bahwa tape
dapat menyembuhkan kenker. Yakinkan saya dengan mempergunakan semua ilmu yang
kamu telah pelajari: kimiah, kimia-fisika, biologi dan sebangsanya.”
“tapi saya tidak mempelajari tentang hal ini, Profesor, saya
hanya mencoba bagaimana pengaruhnya kalau orang yang sakit kanker banyak makan
tape, dan hasilnya ternyata sembuh,”
Sang professor itu mengangguk-angguk kepalanya dan berpaling
kepada mahasiswa yang lainnya: “kalian tahu Anak muda, sembuhnya itu mungkin
saja kebetulan. Bagaimana dengan hasil percobaan kamu sendiri, apakah kamu juga
berhasil menyembuhkan kanker dengan tape?”
“saya justru tidak melakukan percobaan, prof,” jawab
mahasiswa itu, “saya mempelajari kanker dan tape dan semua segi yang professor
sebutkan tadi, dan saya menemukan breakthrough: bahwa ditinjau dari kimia,
kimia-fisika, biologi, sosiologi dan sebangsanya(maaf prof, tape malah ada
aspek kulturnya) tape adalah obat yang ampuh untuk menyembuhkan kanker”
Sang professor itu tersenyum dan berkata “kalian berdua
masing-masing mewakili sepotong-sepotong dari cara berpikir keilmuan,
tandasnya, ditinjau dari segi epistimonologi ilmu, kalian ini baru setengah
ilmuan. Untuk menjadi seorang ilmuan yang penuh, kalian berdua harus bekerja
sama…”
Dan professor itu pun bercerita tentang filsafat ilmu.
Dimulai dengan paham rasionalisme yang berfikir secara sistematis dan konsisten
namun tidak pernah sependapat tentang pernyataan mana yang dapat disetujui
bersama dan dengan demikian dapat dianggap benar. Kemudian mengupas paham
empirisme yang mengkaitkan berbagai fakta lewat hokum kasualitas, memang
factual dan sering dapat diulang-ulang, namun sukar dicari kerangka logisnya
yang satu dengan yang lain sering bersifat kontradiktif.
“jangan kalian kira babi-babi sering makan tape dan tidak
pernah sakit kanker, lalu kalian simpulkan bahwa tape menyembuhkan atau paling
tidak mencegah kanker” desis professor itu memukul mejanya.
“tapi babi tidak pernah makan tape, prof, dia makan ubi
kayu” potong setengah ilmuan itu memberanikan diri.
“sudahlah” professor itu melotot “pernyataan itu tidak
relevan. Yang penting adalah” kembali dia memukul tinjunya. “agar secara
epistimonologis suatu pengetahuan secara sah dapat dianggap ilmiah, dia harus
melalui dua tahap. Pertama, yakinkan saya secara teoritis, dengan mempergunakan
semua pengetahuan ilmiah (ilmu) yang telah dikumpulkan manusia selama ini,
bahwa tape bisa menyembuhkan kanker. Bila saya yakin dengan penjelasan kalian,
yang dijabarkan secara deduktif dari semua pengetahuan ilmiah yang telah diakui
sampai saat ini, baru kita melnagkah ketahap kedua”
Disini professor kita berhenti dan menarik napas.
“kesimpulan dari tahap pertama disebut dugaan atau dalam bahasa ilmiahnya
adalah hipotesis. Kesimpulan yang bagaimanapun logisnya, bagaimanapun
menyakinkanya dalam tahap ini baru merupakan dugaan. Sebab seperti apa yang
dikatakan oleh Hakim Spencer Tracy kepada pembela Maximillian Schell dalam film
tentang peradilan penjahat perang Nazi yang berjudul judgment at Nurnberg.
Anaku, apa yang logis itu tidak selalu benar. Kalian sering nonton film
detektif? (mahasiswa kita menggelengkan kepala sebab yang sering ditonton film
ngebut) sering-seringlah nonton film detektif, dalam menentukan kebenaran
antara detektif dan ilmuan sebenarnya sama yakni ini (sang professor
mengetuk-ngetuk otak kecilnya) dan… (dia bertanya) “Dan Uang… uang penelitian
saya maksudkan, prof” kata mahasiswa itu cepat-cepat, melihat profesornya
mengerut, “proyek penelitian maksud saya”
“Bukan…” aga berang dia “dalam epistimonologi unag tidak
relevan, dalam manajemen penelitian mungkin, (apa yang tidak membutuhkan uang,
dia bersungut) yang penting adalah berpikir keilmuan, seperti juga dalam
pengadilan adalah bukti. Mana buktinya si Polan membunuh si Badu karena cemburu
pada si Dadap? Mana buktinya bahwa tape bisa menyembuhkan kanker karena alsan
kimia, biologi, kultural, etsetera, eksetera…”
Dua orang mahasiswa itu rterdiam. Mereka menelan ludah nya.
Mungkin haus, sebab hari sudah siang. “itulah tahap kedua dari proses keilmuan
yakn I tahap pembuktian. Sekiranya terhadapa bukti yang menyakinkan (jadi
jangan disulap atau dibikin-bikin) maka hakim dapat menjatuhkan keputusan yang
adil. Demikian juga jika terdapat kesimpulan penelitian yang merupakan bukti
yang kuat (bukan penelitian “asal Bapak Senang” atau reportase loran, melainkan
penelitian ilmiah dengan desian dan analisis ilmiah) maka hipotesis baru. Untuk
itu kalian akan saya calonkan sebagai pemenang Hadiah Nobel tahun depan”
Mahasiswa itu tersenyum. Mereka kelihatan senang. “ingatlah
kepada dua tahap dalam proses keilmuan ini, dimana pun juga selama kalian
melakukan kegiatan ilmiah. Apakah kalian menulis skripsi sarjana kalian atau
tesis pasca-sarjana juga disertasi doctor kalian. Prosesnya tak pernah berubah,
yang berbeda hanya lingkup dan kedalamanya…”
Ketika kedua mahasiswa telah pergi dari kamar studinya.
Dengan lesu professor itu membalik-balik karya ilmiah rekan
se-civitas-academica. Tumpukan yang satu penuh angka dan table-tabel logika. Tumpukan
lain penuh dengan teori-teori tanpa fakta. “Baru setengah….” Desisnya.
(sungguh mati saya tak tahu setengah apa, sebab professor
itu memalingkan kepalanya ke tembok dan tak kedengaran lagi suaranya. Yang
pasti jam ditembok itu menunjukan pukul12.30 WIB)
Sumber:
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam perspektif moral, sosial
dan polik. PT Gramedia. Jakarta, 1986. Halaman 24-27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar